SELAMAT DATANG DI JENDELA CAKRAWALA ILMU, MEMBUKA WAWASAN BERFIKIR TANPA MELUPAKAN SIAPA YANG MENCIPTAKAN KITAwaspbook



Jumat, 23 Oktober 2009

PERAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI Oleh: Drs. Endang Komara, M.Si. (Kandidat Doktor Ilmu Sosial pada Universitas Padjadjaran)

ABSTRAK

Pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.

Pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Dan semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).

Era globalisasi merupakan proses yang mendorong umat manusia untuk beranjak dari cara hidup dengan wawasan nasional semata-mata ke arah cara hidup dengan wawasan global. Dalam hal ini dunia dipandang sebagai suatu sistem yang utuh, bukan sekedar sebagai kumpulan dari keping-keping geografis yang bernama ‘negara’ atau ‘bangsa’. Dalam situasi kehidupan yang bersifat global ini gejala-gejala serta masalah tertentu hanya dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik apabila diletakkan dalam kerangka yang bersifat global, bukan dalam kerangka lokal, nasional ataupun regional. Dalam hal ini konsep ‘era golabilasi’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Dalam era seperti ini hal-hal tertentu yang terjadi dalam kehidupan kita dapat memperoleh arti yang menembus batas-batas fisik dari tempat kejadian semula. Dalam zaman seperti ini suatu peristiwa lokal atau nasional dapat mencuat menjadi peristiwa global. Tanpa kita kehendaki, peristiwa tertentu dapat menarik perhatian dunia luas dan menjadi peristiwa penting yang dipandang menyangkut kepentingan masyarakat dunia.


I. PENDAHULUAN

Dewasa ini pendidikan budi pekerti di sekolah banyak dibicarakan kembali dalam konteks pembangunan (kembali) moral bangsa. Sedemikian gencarnya pembicaraan tentang topik ini, sehingga sebagian orang ada anggapan seakan-akan budi pekerti sebagai sesuatu yang baru atau merupakan binatang yang baru. Padahal tidak seperti itu.

Sebagai suatu materi pendidikan maupun mata pelajaran (pendidikan budi pekerti timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia). Ada saatnya budi pekerti tampil sebagai mata pelajaran yang dominan dalam kurikulum, kemudian disatukan dengan mata pelajaran lain, lau terpisah lagi.

Pada saat materi budi pekerti diintegrasikan atau disisipkan ke dalam mata pelajaran lain, maka mata pelajaran yang mendapatkan titipan itu adalah yang paling dekat dengan sifat, karakter, atau misi mata pelajaran ini, seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini mencerminkan pandangan bangsa ini terhadap arti pendidikan budi pekerti, dan sekaligus merefleksikan terjadinya pergulatan pemikiran yang berlangsung sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Hal tersebut juga menggambarkan perubahan kepedulian bangsa ini terhadap pendidikan yang bernuansa etika-moral yang diwakili oleh struktur kurikulumnya.

Arena pendidikan nasional juga diwarnai dengan munculnya tema-tema atau idiom-idiom lain yang lebih menonjol atau ditonjolkan. Mulai akhir 1960-an dengan berlakunya Kurikulum 1968 hingga pertengahan tahun 1980-an, tema-tema yang bernuansa (moral) Pancasila sangat mendominasi, seiring dengan kuatnya kepedulian (bangsa ini, atau pemerintah yang berkuasa) terhadap upaya menjabarkan dan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam segenap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Prof. Dr. Dedi Supriadi, 2001).

Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada saat itu dapat dikatakan “terpinggirkan” oleh haru-biru semangat pendidikan Pancasila. Memasuki pertengahan tahun 1980-an hingga akhir 1990-an, sejalan dengan warna keagamaan sangat mendominasi sistem pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti seakan-akan hilang --- kecuali hanya tercantum dalam satu-satu ciri manusia Indonesia seutuhnya dalam tujuan pendidikan nasional.

Giliran tema-tema “keimanan dan ketakwaan” (imtak) mendominasi pendidikan nasional yang sekaligus mencerminkan terjadinya “titik balik” dalam kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih religirus (Supriyadi, 1996), setelah sekian lama melalui babak pendidikan yang cenderung sekuler dan bernuansa “budaya abangan” (Clifford Geertz) model budaya Jawa dan puncak zaman keemasan Orde Baru). Mulai pertengahan 1980-an, kurva perkembangan Orde Baru mulai menurun, justru pada saat kekuasaannya semakin besar sehingga sulit dikendalikan yang kemudian berakhir Mei 1998.

Era Orde Baru berakhir, dan muincul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidakberdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya. Bangsa ini berusaha mencari kembali akar budayanya, nilai-nilai dasarnya, basic and core values-nya. Maka bertemulah dengan sebuah nama, sebuah kenyataan, sebuah “harta karun” yang dianggap sebagai bagian inti dari budaya bangsa, yakni “budi pekerti”.

Sejak saat itulah, pendidikan budi pekerti dihidupkan dan menjadi tema besar dalam sistem pendidikan nasional sehingga saat ini yang mendapatkan tekanan kuat dalam GBHN. Siapa yang seharusnya memainkan peran penting dalam pendidikan budi pekerti.

Jadi dalam era globalisasi ini kehidupan umat manusia ditandai oleh saling ketergantungan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dan saling ketergantungan ini makin lama makin besar dan maki terasa dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu persaingan antar bangsa menjadi makin lama makin ketat. Dan daerah persaingan pun makin lama makin luas. Persaingan antar bangsa sekarang ini tidak hanya terjadi di bidang usaha yang bersifat internasional, perdagangan luar negeri dan sebagainya, tetapi telah memasuki pula bidang-bidang usaha yang bersifat domestik. Bidang usaha jasa asuransi dan periklanan dalam negeri, misalnya sekarang ini di Indonesia melalui “joint ventura” telah pula menjadi ajang persaingan antar bangsa.

Salah satu konsekuensi dari kenyataan ini ialah bahwa kita harus mengenal masyarakat dunia dengan cukup baik, kalau kita tidak ingin ditinggalkan serta dirugikan oleh bangsa lain. Dalam usaha kita untuk mempertahankan eksistensi kita sebagai bangsa serta meningkatkan martabat kita dalam pergaulan antar bangsa, kita harus memiliki wawasan global yang jelas. Tanpa wawasan global, tanpa pemahaman kecenderunga global yang sedang terjadi, secara berangsur-angsur kita akan menjadi suatu bangsa yang makin lama tidak berarti.

Dalam situasi seperti ini salah satu pertanyaan pokok yang kita hadapi dalam bidang pendidikan ialah mampu-tidaknya sekolah memberikan kepada anak-anak tentang pendidikan yang membuat mereka memahami dunia dengan baik; mampu tidaknya sekolah memberikan kepada anak-anak wawasan global serta kesadaran global yang baik di samping wawasan serta kesadaran nasional.

Pemahaman, wawasan dan kesadaran global yang baik akan ditandai mula-nula oleh adanya keinginan pada anak-anak untuk mengetahui kehidupan yang terdapat pada bangsa-bangsa lain. Kemudian akan muncul keinginan untuk berbagai jenis sistem yang dianut oleh bangsa lain. Kesadaran global ini juga akan ditandai kemudian oleh penguasaan salah satu bahasa utama di dunia ini (Misalnya bahasa Inggris, Jepang, Arab dan Perancis) di samping penguasaan yang benar-benar baik terhadap bahasa sendiri. (Buchori, 1995:144).



II. PEMBAHASAN

2.1 Peran Pendidikan Budi Pekerti

Beberapa tahun terakhir ini sering kita lihat dan alami terjadinya tawuran antarsekolah, konflik antar sekolah yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi yang dianggaap tidak sopan, tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi korban narkoba. Siswa SMU tertentu dengan mudah tawur dengan SMU lain meskipun sebenarnya mereka tidak mengerti sebabnya bahkan sebenarnya mereka belum pernah bertemu dan kenal. Mereka hanya dipanasi oleh anagkatan sebelumnya bahkan sekolah lain itu adalah musuh mereka. Banyak siswa-siswi sekolah menengah yang merasa bangga bila ikut mengacau dan melanggar aturan lalu lintas bahkan sampai menodong bus kota dan merusaknya bila bus tidak mau berhenti. Siswa ikut terlibat dengan konflik masyarakat, saling membenci kelompok lain, cukup banyak. Dan di banyak kota besar, bahkan juga sudah sampai di banyak desa, siswa-siswi terlibat pada narkoba dan menjadi malasa untuk belajar. Beberapa lembaga pemasyarakatan dipenuhi oleh siswa dan mahasiswa yang menjadi korban narkoba, sampai-sampai pimpinan lembaga pemasyarakatan disebut rektor karena anggotanya banyak mahasiswa/siswa. Mengapa mereka sampai seperti itu? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bersalah?

Cukup jelas bahwa peristiwa di atas bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, karena kebanyakan waktu siswa adalah di luar sekolah, di dalam keluarga dan masyarakatnya. Namun sekolah tidak dapat lepas tangan, karena itu kiranya juga menjadi tanda bahwa sekolah formal kira kurang dapat membantu siswa tersebut untuk lebih bersikap manusiawi dan lebih menghargai orang lain meskipun berbeda pandangan, gagasan, dan keyakinan. Sekolah nampaknya kurang dapat membantu siswa untuk lebih berkembang sebagai manusia yang lebih utuh, bukana hanya pandai dalam hal pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga menjadi manusia yang bertanggung jawab, dan mempunyai nilai kesopanan, yang memperlakukan orang lain secara manusiawi.

Para pendidik dan pengelola sekolah sekarang ini tahu bahwa cukup lama sekolah formal hanya menekankan soal perkembangan pengetahuan (kognitif) melalui kosep “learning to know” dan lebih sempit hanya menekankan dan mengejar NEM (Nilai Ebtanas Murni). Cukup lama sekolah bangga bila siswa mereka lulus dengan MEM tinggi. Orang tua juga senang bila anak mereka ber-NEM tinggi dan merasa sedih bila NEM mereka rendah. Sampai beberapa orang tidak berani menceritakan NEM akanya yang rendah kepada teman-temannya karena malu; sedangkan bila NEM anak mereka tinggi mereka membanggakan kepada teman-teman mereka. Maka mati-matian sekolah dan orang tua memaksakan banyak les pengetahuan agar anak ber-NEM tinggi. Akibatnya nilai kemanusiaan yang lain kurang mendapatkan tempat dalam pendidikan formal. Pendidikan sosialitas, religiositas, rasa keadilan, humaniora kurang mendapatkan tempat. Bila ada, hanya ditekankan kepada aspek pengetahuan dan kurang sampai pada praktek dan pengalaman. Bahkan beberapa sekolah tidak menjamah pendidikan kemanusiaan itu. Tidak mustahil bila banyak anak muda meski sangat pandai dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka tidak berbudi luhur dan berbuat hal-hal yang merugikan banyak orang lain.

Menurut undang-undang pendidikan sebenarnya sudah dicantumkan bahwa pendidikan nasional kita ini bertujuan untuk membantu generasi muda agar berkembang menjadi manusia yang utuh, yang berpengetahuan tinggi, bermoral, beriman, berbudi luhur, bersosialitas, dan lain-lain. Dengan kata lain menurut undang-undang pendidikan, pendidikan sekolah kita ini ingin membentu generasi muda untuk berkembang menjadi manusia yang lebih utuh dengansegala aspek kemanusiaannya,. Namun nyatanya cukup lama segi non pengetahuan itu kurang mendapatkan perhatian sehingga yang dihasilkan adalah siswa yang sungguh pandai dalam hal pengetahuan tetapi tidaka bermoral atau tidak seimbang dalam segi kehidupan yang lain. Secara ekstreem malah dapat terjadi bahwa dengan pengetahuannya yang begitu tinggi dimanfaatkan untuk berbuat hal-hal yang tidak baik.

Dengan kesadaran akan keadaan dan hasil pendidikan yang kurang utuh itu, banyak pendidik dalam dua tahun terakhir memikirkan adanya pendidikan budi pekerti untuk membantu pemenuhan segi yang kurang dari pendidikan sampai sekarang ini. Banyak orang berpikir bahwa pendidikan budi pekerti dapat menjadi alternatif membantu siswa berkembang dalam segi kemanusiaan. Dalam kurikulum terbaru yang sudah dicobakan dalam beberapa sekolah, pendidikan budi pekerti ditekankan untuk diberikan.

Dari keinginan dan dambaan orang tua dan para pendidik pada umumnya manusia seperti apa yang mereka inginkan terjadi dalam diri anak didik. Yang jelas mereka menginginkan bahwa anak didik menjadi manusia yang utuh, yang berkembang bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi juga sikap dan nilai kemanusiaan yang lain. Lebih jelasnya manusia macam apa yang didambakan dengan pendidikan budi pekerti dijelaskan oleh Suparno (2002:13-18) sebagai berikut:

1) Manusia sebagai makhluk yang berakal budi

Manusia dapat berpikir, dapat mempunyaia kehendak bebas untuk memilih dan menentukan apa yang akan dibuatnya dan ia dapat bertanggung jawab terhadap pilihannya. Semuanya karena manusia mempunyai akal budi. Maka manusia sering disebut animal rationale, binatang yang berakal budi. Binatang hidup dari naluri dan isntink tidak menggunakan akal budi, dan ikut saja apa yang menggerakkan dirinya. Sedangkan manusia dapat mengatur tindakannya dengan akal budinya. Meski manusia lapar, dia dapat menunda keinginan itu sampai di rumah. Meski dia marah sekali, manusia dapat mengatur untuk tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang yang membuat marah. Meski manusia disakiti, dia dapat memilih untuk tidak membalas menyakiti, bahkan dapat mengampuni yang menyakitinya. Hal ini disebabkan karena manusia bertindak berdasarkan akal budinya bukan berdasarkan instink. Dengan akal budinya itu manusia dapat memikirkan, memilih tindakan yang mau diambil, dan akhirnya bertanggung jawab terhadap pilihan itu.

2) Manusia sebagai pribadi

Manusia sering juga dianggap sebagai pribadi, sebagai persona. Pribadi karena semua yang dia buat dia sendirilah yang menentukan, dia sendirilah yang menginginkan. Sebagai pribadi secara ektreem, kebahagiaan manusia pertama-tama menjadi tanggung jawab dia sendiri, karena dialah yang memilih dan menentukan tindakan yang baik dan tidak baik. Maka bila seseorang celaka, tidak bahagia dalam hidup, pertama-tama karena dia sendiri yang bertanggung jawab.

Sebagai pribadim, manusia bernilai, berharga. Sebagai pribadi manusia mempunyai nilai kemanusiaan yang tidak boleh diganggu atau disengsarakan. Oleh karena itu, manusia tidak boleh dipaksa, direndahkan, diobjekkan, apalagi dihancurkan begitu saja. Manusia, bahkan juga bila dia sangat miskin ataupun penjahat, tetap merupakan pribadi yang tidak boleh begitu saja dihancurkan. Dalam pengertian ini maka setiap manusia mempunyai hak asasinya yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain, juga bila orang itu pimpinannya. Hak asasi, seperti hak hidup, hak beragama, hak bertempat tinggal, perlu dilindungi, karena manusia tidak dapat menentukan hidup orang lain. Bahwa orang itu dilahirkan di dunia dalam keluarga tertentu dan di tanah tertentu dengan agama orang tuanya yang tertentu, jelas bukan pilihan anak itus sendiri, tetapi harus sudah begitu. Maka hal itu perlu diulindungi demi kehidupan orang tersebut. Paksaan apalagi penghancuran hal tadi jelas tidak dapat dibenarkan.

3) Manusia adalah makhluk sosial

Dalam kenyataan hidup, ternyata manusia yang berpribadi itu tidak dapat hidup sendirian. Seorang anak yang baru lahir tidak dapat hidup begitu saja tanpa bantuan orang lain, seperti orang tuanya. Seorang anak yang baru lahir bila dibiarkan di tengah hutan tanpa berelasi dengan manusia lain tidak akan menjadi manusia. Bahkan ada pengalamanseorang anak yang sejak kecil dipelihara oleh serigala di tengah hutan, akhirnya ia bertingkah sepeerti serigala.

Sebagai makhluk sosial inilah manusia akhirnya membangun persaudaraan atau persekutuan dengan orang lain. Persaudaraan terkecil adalah keluarga yang berdasarkan darah kelahiran. Persekutuan yang lebih luas terwujud dalam hidup bermasyarakat, berorganisasi karena tugas dan tujuan yang sama, dan yang lebih besar membangun suatu negara yang dapat menjamin hidup mereka masing-masing.

4) Manusia sebagai makhluk yang berbudaya

Berbudaya mempunyai berbagai makna. Kita berada dan hidup dalam budaya tertentu. Misalnya, kita hidup dan berada dalam budaya Sunda. Kita lahir sebagai anak Sunda, dan dibesarkan dalam lingkungan nilai Kepasundanan. Buidaya Sunda itu jelas mempengaruhi hidup kita dan kita tidak dapat lepas begitu saja dengan nilai adat tersebut. Agar kita sungguh dapat hidup dalam budaya itu, maka kita perlu masuk dalam budaya itu sungguh-sungguh. Namun kita juga diharapkan ikut mengembangkan budaya tempat kita dilahirkan. Hal ini hanya mungkin bila kita sadar akan budaya asal kita dan kritis terhadap budaya tersebut sehingga dapat menilai mana yang kurang baik untuk dapat diubah dan dikembangkan. Dengan demikian kita aktif mengembangkan dan memperbaiki budaya tempat kita lahir. Proses ini semua akan semakin menjadikan kita berbudaya tinggi, yaitu dengan meneruskan nilai budaya yang sudah baik dan mengubah nilai budaya yang sudah tidak baik lagi keran perkembangan zaman ataupun situasi. Hal ini dimungkinkan karena kita mempunyai akal budi, kesadaran, dan juga hati.

Kita menyadarai bahwa setiap orang dilahirkan dalam budaya tertentu dan dapat berbeda dengan budaya orang lain yang dilahirkan di tempat lain. Maka dalam pergaulan dan komunikasi, sering dapat muncul persoalan dan bahkan konflik (Karl Marx) karena perbedaan budaya tersebut. Di sini perlu keterbukaan dan juga kepekaan terhadap nilai budaya yang berbeda itu dan saling memperkaya.

Menurut Sedyawati (1999:5) budi pekerti sering diartikan sebagai moralitas yang mengandung pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku itu. Jadi budi pekerti dapat bermacam-macam, tergantung situasinya. Sikap dan perilaku itu mengandung lima jangkauan sebagai berikut:

(1) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan;

(2) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri

(3) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga

(4) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa;

(5) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam semesta.



2.2 Era Globalisasi

Menghadapi AFTA tahun 2003 yang ditandai dengan perdagangan bebas Asia maka wawasan global bukan satu-satunya wawasan yang harus diperkenalkan sekolah dan dikuasai anak-anak kita. Dalam kehidupan sekarang ini setiap bangsa dituntut untuk memiliki empat jenis wawasan; lokal, nasional, regional dan global (Buchori, 1995:144).

Ada hal-hal tertentu yang hanya akan dapat diselesaikan secara nasional. Lalu ada hal-hal tertentu yang hanya akan dapat diselesaikan secara nasional. Lalu ada hal-hal tertentu yang hanya akan dapat diselesaikan dengan baik kalau kita hadapi secara regional bersama bangsa-bangsa lain di kawasan bersama kita. Dan akhirnya ada masalah-masalah yang bersifata global tadi, yang hanya dapat diselesaikan dengan baik apabila antara bangsa-bangsa di dunia ini benar-benar terdapat kerjasama yang baik.

Sudahkah keempat jenis wawasan ini ditanamkan secara seimbang dalam diri anak didik kita? Pada umumnya sekolah kita hanya memperhatikan dan memupuk wawasan nasional saja. Pemupukan wawasan lokal tampaknya dipandang sebagai suatu soal yang terlampau kecil bagi agenda pendidikan di sekolah kita. Sebaliknya pemupukan wawasan regional dan global rupanya dipandang suatu pekerjaan yang tidak terjangkau bagi kebanyakan sekolah kita. Dalam keadaan seperti ini yang terpuruk pada anak-anak kita adalah wawasan nasional yang tidak dilapisi oleh wawasan lokal serta tidak dilengkapi pula oleh wawasan regional dan wawasan global. Bagi kehidupan modern dalam era globalisasi ini keadaan semacam ini merupakan kondisi kebangsaan yang kurang memadai dan kurang menguntungkan.

Apa yang harus dilakukan sekolah untuk membimbing anak didik memahami situasi yang terdapat di dunia dewasa ini? Apa yang harus dilakukan sekolah untuk membekalai anak didik dengan eempat jenis wawasan; lokal, nasional, regional dan global maka menurut Buchori (1995: 146-153) ada tiga hal yang perlu dianalisis, antara lain:

1) Masalah pendekatan atau approach

Sepintas lalu, pekerjaan mengajar dan mendidik untuk menimbulkan keempat jenis wawasan ini tampak sebagai suatu pekerjaan yang asing, baru dan sukar. Ada dua cara yang dapat kita tempuh untuk membuat pekerjaan ini menjadi lebih sederhana. Pertama, pekerjaan menimbulkan wawasan ini kita pandang sebagai kegiatan mengajar untuk mengenal, menghargai dan mencintai lingkungan. Dan Kedua, keempat jenis wawasan yang akan kita ajarkan tadi –lokal, nasional, regional dan global—kita letakkan secara konsentris.

2) Masalah susunan Substansi

Apakah yang mutlak harus diajarkan untuk mengenal serta memahami, menghargai serta mencintai berbagai lingkungan tadi, sehingga pada akhirnya timbul keempat wawasan tersebut.

Pada prinsipnya yang perlu kita ajarkan ialah pengertian secara apresiasi terhadap rangkaian pola-pola kehidupan yang berkembang di setiap jenis lingkungan. Agar anak didik kita benar-benar mengenal, memahami, menghargai dan akhirnya mencintai suatu lingkungan, kepada mereka perlu diajarkan sejarah interaksi yang terjadi antara masyarakat penghuni suatu lingkungan dengan alam sekitar yang menjadi sumber kehidupan mereka dan sekaligus juga membatasai pengetahuan mereka. Pengetahuan tentang rangkaian interaksi antara masyarakat manusia dengan lingkungan alamnya ini memungkinkan para siswa memahami watak suatu masyarakat; mengenali kekuatan serta kelemahannya, dan mengenali pula ciri-ciri khas yang menjadi milik masyarakat tadi.





3) Masalah Metode.

Metode apakah yang paling sesuai untuk mengajarkan soal belajar mengajar. Kemudian yang perlu kita perhatikan bahwa pengetahuan yang paling berarti terntang lingkungan harus dipupuk selama suatu jangka waktu tertentu. Di samping itu pengetahuan yang berarti tentang berbagai lingkungan harus digali dari berbagai sumber. Dan akhirnya, pengetahuan yang berarti tentang berbagai lingkungan yang pada akhirnya harus dipupuk oleh para siswa sendiri.

Selain fokus pada siswa pola fikir pembelajaran perlu diubah dari sekedar memahi konsep dan prinsip keilmuan, siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai. Seperti dinyatakan dalam pilar-pilar pembelajaran dari USESCO, Selain terjadi ‘learning to know’ (pembelajaran untuk tahu), juga harus terjadi ‘learning to do’ (pembelajaran untuk berbuat) dan bahkan dituntut sampai pada ‘learning to be’ (pembelajaran untuk membangun jati diri yang kokoh) dan ‘learning to live together’ (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmoni).



III. KESIMPULAN

Setelah memperhatikan beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan dalam bentuk simpulan sebagai berikut:

3.1 Pendidikan budi pekerti perlu diberikan di sekolah, sejak Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah. Budi pekerti membantu perkembangan manusia muda untuk menjadi manusia lebih utuh, terlebih manusia sebagai makhluk sosial. Juga amelalui pendidikan budi pekerti siswa disadarkan akan tanggung jawabnya terhadap dirinya, Tuhan, orang lain, dan juga alam semesta.

3.2 Isi nilai budi pekerti yang dianggap sangat penting dalam pembentukan manusia utuh. Nilai-nilai budi pekerti yang kurang universal, diharapkan dapat ditambahkan sendiri oleh pendidik dalam model penyampaian mata pelajaran tersendiri, terintegrasi dalam semua bidang studi, model di luar pengajaran dan model gabungan.

3.3 Metode penyampaian yang digunakan dalam pendidikan budi pekerti antara lain: demokratis, pencarian bersama, keteladanan, live in dan penjernihan nilai.

3.4 Menghadapi era globalisasi para guru dalam proses pembelajaran tidak seharusnya memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah guru atau dosen laksana botol kosong yang diisi dengan pengetahuan. Peserta didik harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan baik fisik, sosial, maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia di sekitarnya (learning to know). Diharapkan hasil interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.



DAFTAR PUSTAKA



Bastian, Aulia Reza. (2002). Reformasi Pendidikan: Langkah-Langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidkan Dalam rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.



Buchori, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.



Budimansyah, Dasim. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Genesindo.



Suparno, Paul dkk. (2002). Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius.



Supriadi, Dedi. (2001). Budi Pekerti dalam Kurikulum 1947-1994. Dalam Harian Umum Pikiran Rakyat. 11 dan 12 Juni 2001.



Tidak ada komentar: