SELAMAT DATANG DI JENDELA CAKRAWALA ILMU, MEMBUKA WAWASAN BERFIKIR TANPA MELUPAKAN SIAPA YANG MENCIPTAKAN KITAwaspbook



Jumat, 23 Oktober 2009

PENDAPAT BUYA HAMKA TENTANG AHLUL BAIT

H. Rifai, seorang Indonesia beragama Islam yang
tinggal di Florijn 211 Amsterdam, Nederland, pada
tanggal 30 Desember 1974 telah mengirim surat kepada
Menteri Agama H.A Mukti Ali dimana ia mengajukan
pertanyaan dan mohon penjelasan secukupnya mengenai
beberapa hal diantaranya tentang keturunan Rasulullah
saw.

Oleh Menteri Agama diserahkan kepada Prof. Dr.H. Abdul
Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui
Panji Masyarakat[1], dengan pertimbangan agar
masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih
merata. Jawaban HAMKA atas pertanyaan diatas sebagai
berikut :

Yang pertama sekali hendaklah kita ketahui bahwa Nabi
saw tidak meninggalkan anak laki-laki. Anaknya yang
laki-laki yaitu Qasim, Thaher, Thayib dan Ibrahim
meninggal di waktu kecil belaka. Sebagai seorang
manusia yang berperasaan halus, beliau ingin mendapat
anak laki-laki yang akan menyambung keturunan (nasab)
beliau. Beliau hanya mempunyai anak-anak perempuan,
yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kulsum dan Fathimah.
Zainab memberinya seorang cucu perempuan. Itupun
meninggal dalam sarat menyusu. Ruqayyah dan Ummu
Kulsum mati muda. Keduanya isteri Usman bin Affan,
meninggal Ruqayyah berganti Ummu Kulsum (ganti tikar).
Ketiga anak perempuan inipun meninggal dahulu dari
beliau.

Hanya Fathimah yang meninggal kemudian dari beliau dan
hanya dia pula yang memberi beliau cucu laki-laki.
Suami Fathimah adalah Ali Bin Abi Thalib. Abu Thalib
adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh Nabi
sejak usia 8 tahun. Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan
Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi sebagai
seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah
yang akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah
kasih saying dan cinta beliau kepada cucu-cucu ini.
Pernah beliau sedang ruku' si cucu masuk ke dalam
kedua celah kakinya. Pernah sedang beliau sujud si
cucu berkuda ke atas punggungnya. Pernah sedang beliau
khutbah, si cucu duduk ke tingkat pertama tangga
mimbar.

Al-Tarmidzi merawaikan dari Usamah Bin Zaid bahwa dia
(Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain berpeluk di
atas ke dua belah paha beliau. Lalu beliau saw
berkata, 'Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak
perempuanku. Ya Tuhan aku saying kepada keduanya'.

Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Abi Bakrah bahwa
Nabi saw pernah pula berkata tentang Hasan, 'Anakku
ini adalah Sayyid (tuan), moga-moga Allah akan
mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum
muslimin yang berselisih'.

Nubuwat beliau saw itu tepat. Karena pada tahun 60
hijriyah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah,
karena tidak suka melihat darah kaum muslimin
tertumpah. Sehingga tahun 60 itu dinamai 'Tahun
Persatuan'. Pernah pula beliau berkata, 'Keduaanakku
ini adalah Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga
kelak'.

Barangkali ada yang bertanya : 'Kalau begitu jelas
bahwa Hasan dan Husein itu cucunya, mengapa
dikatakannya anaknya ?. Ini adalah pemakaian bahasa
pada orang Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam
alquran surat ke-12 (Yusuf) ayat 6 disebutkan bahwa
nabi Ya'kub mengharap moga-moga Allah menyempurnakan
ni'mat-Nya kepada puteranya Yusuf, sebagaimana telah
disempurnakan-Nya ni'mat itu kepada kedua bapamu
sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishak. Padahal uang
bapak atau ayah dari Yusuf adalah Ya'kub. Ishak adalah
neneknya dan Ibrahim adalah nenek ayahnya. Di ayat 28
Yusuf berkata, 'Bapak-bapakku Ibrahim dan Ishak dan
Ya'kub'. Artinya nenek-nenek moyang disebut bapak, dan
ucu cicit disebut anak-anak. Menghormati keinginan
Nabi yang demikian, maka seluruh ummat Muhammad
menghormati mereka. Tidakpun beliau anjurkan, namun
kaum Quraisy umumnya dan Bani Hasyim dan keturunan
Hasan dan Husain mendapat kehormatan istimewanya di
hati kaum muslimin.

Bagi ahlus sunnah hormat dan penghargaan itu biasa
saja. Keturunan Hasan dan Husain dipanggilkan orang
Sayyid kalau untuk banyak Sadat. Sebab Nabi mengatakan
'Kedua anakku ini menjadi Sayyid (tuan) dari
pemuda-pemuda di syurga'. Di setengah negeri di sebut
Syarif, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa,
kalau banyak Asyraf. Yang hormat berlebih-lebihan,
sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak
pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni
Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum
Syi'ah yang berlebih-lebihan.

Apatah lagi di dalam alquran, surat ke-33 'al-Ahzab',
ayat 30, Tuhan memperingatkan kepada isteri-isteri
Nabi bahwa kalau mereka berbuat jahat, dosanya lipat
ganda dari dosa orang kebanyakan. Kalau begitu
peringatan Tuhan kepada isteri-isteri Nabi, niscaya
demikian pula kepada mereka yang dianggap
keturunannya.

Menjawab pertanyaan tentang benarkah Habib Ali Kwitang
dan Habib Tanggul keturunan Rasulullah saw ? Sejak
zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan
Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini.
Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan
Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa
mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara
ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan banten dan
Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan
di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar
Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan
laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah
bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di
Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid
al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab.
Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid
Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid
Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang
sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari
keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang
turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak
negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi
ulama. Mereka dating dari hadramaut dari keturunan Isa
al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka dating
kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal
ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih,
Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad,
Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry,
Al-aidid, Al-jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin
Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba'abud, Al-Zahir, Bin Yahya
dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum Sayid
Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang
jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa
al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah
ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa
al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi
bin Ja'far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi
Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah
anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Sungguhpun yang terbanyak adalah keturunan Husain dari
Hadramaut itu, ada juga yang keturunan Hasan yang
dating dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Mekkah Abi
Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain
dipanggilkan Tuan Sayyid, mereka dipanggil juga HABIB,
di Jakarta dipanggilkan WAN. Di Serawak dan Sabah
disebut Tuanku. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut
SIDI. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di
negeri-negeri besar seperti Mesir, Baghdad, Syam dan
lain-lain mereka adakah NAQIB, yaitu yang bertugas
mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan itu. Di
saat sekarang umumnya telah mencapai 36-37-38 silsilah
sampai kepada sayidina Ali dan Fathimah.

Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di
Indonesia, pihak al-Irsyad yang menantang dominasi
kaum Ba'alawi menganjurkan agar yang bukan keturunan
Hasan dan Husain memakai juga title sayid di muka
namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi
setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, tidak pilih
keturunan Alawy atau bukan, dengan pimpinan AR
Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan
dan masing-masing memanggil temannya dengan 'al-Akh',
artinya saudara.

Maka baik Habib Tanggul di jawa Timur dan almarhum
Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka
keturunan dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang berpindah
dari Basrah ke Hadramaut itu, dan Ahmad bin Isa
tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu rasulullah
Husain bin Ali bin Abi Thalib itu. Kepada
keturunan-keturunan itu semua kita berlaku hormat dan
cinta, yaitu hormat dan cintanya orang Islam yang
cerdas, yang tahu harga diri. Sehingga tidak
diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan
keturunannya itu. Dan mengingat juga akan sabda
Rasulullah saw, 'Janganlah sampai orang lain dating
kepadaku dengan amalnya, sedang kamu dating kepadaku
dengan membawa nasab dan keturunan kamu'. Dan pesan
beliau pula kepada puteri kesayangannya, Fathimah
al-Batul, ibu dari cucu-cucu itu, 'Hai Fathimah binti
Muhammad, beramallah kesayanganku. Tidaklah dapat aku,
ayahmu menolongmu di hadapan Allah sedikitpun'. Dan
pernah beliau bersabda, 'Walaupun anak kandungku
sendiri fathimah, jika dia mencuri aku potong juga
tangannya.'

Sebab itu kita ulangilah seruan dari salah seorang
ulama besar Alawy yang telah wafat di Jakarta ini,
yaitu sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab, agar
generasi-generasi yang dating kemudian dari turunan
Alawy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka
nenek-moyang, jangan sampai tenggelam ke dalam
peradaban Barat. Seruan beliau itupun akan tetap
memelihara kecintaan dan hormat ummat Muhammad kepada
mereka.


[1] Panji Masyarakat No. 169/Tahun ke XVII, 15
Februari 1975 (4 Shafar 1395 H) hal 37-38.

Tidak ada komentar: