SELAMAT DATANG DI JENDELA CAKRAWALA ILMU, MEMBUKA WAWASAN BERFIKIR TANPA MELUPAKAN SIAPA YANG MENCIPTAKAN KITAwaspbook



Selasa, 01 Desember 2009

Pengertian Seni Tari


Seorang ahli sejarah tarian dan muzik Jerman bernama C.Sachs telah memberikan definisi seni tari sebagai gerakan yang berirama. Seni tari adalah pengucapan jiwa manusia melalui gerak-geri berirama yang indah. Dalam kebudayaan melayu terdapat berbagai-bagai jenis tarian, sama ada tarian asli ataupun tarian yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur moden. Menurut Jaafar Mampak, tarian melayu asli terbahagi kepada dua jenis. Pertama, tarian yang bercorak lemah lembut seperti tarian mak inang dan siti payung. Kedua, tarian rancak yang merupakan hasil daripada pengaruh tarian Portugis seperti Tarian Ronggeng, Serampang Laut dan Singapura Dua.

Seni tari boleh dikategorikan dalam berbagai-bagai jenis. Antara pembahagian yang boleh dibuat terhadap seni tari melayu adalah seperti berikut :-


Tarian-tarian yang bercorak seni tari istana yang dipersembahkan pada waktu perkahwinan, pertabalan, istiadat menyembah dan sebagainya.Tarian-tarian ini termasuklah tarian siti payung, mak inang, asyik,gamelan dan sebagainya.
Tarian-tarian yang memperlihatkan wujudnya pengaruh Arab dan Parsi seperti tarian rodat, hadrah dan sebagainya.
Tarian rakyat seperti dondang sayang, ronggeng, joget dan sebagainya.
Tarian yang khusus ditarikan oleh kaum lelaki sahaja seperti tarian kuda kepang, tarian labi-labi, tarian berdayung dan sebagainya. TARI JAIPONGAN DARI TANAH SUNDA
Posted by : allbandung - Wed Aug 8 16:50:40
TARI JAIPONGAN DARI TANAH SUNDA


Ketika generasi muda saat ini bergeliat dengan banyaknya peminat akan tarian modern dance yang saat ini banyak menghiasi tayangan di stasiun-stasiun televise swasta nasional, sementara itu tarian budaya sendiri terkadang sedikit ditinggal. Masih bisa dihitung dengan jari bahwasanya acara-acara yang menampilkan khusus mengenai kesenian daerah.


Merupakan sebuah keprihatinan bahwasanya budaya sendiri sedikit tidak dilirik, namun tidak salah juga untuk menerima budaya yang lain untuk bisa dikembangkan. Dalam hal ini sebagai bangsa yang besar seharusnya kita berbangga hati memiliki budaya tarian sendiri, salah satu diantaranya yang sangat dikenal di tanah priangan sunda yaitu jenis tarian sunda Tari Topeng dan Tari Merak, Jaipongan, Ketuk Tilu, .


Menurut sejarahnya yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.


Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira ini pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.


JAIPONGAN atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.

Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go'ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. ( Beberapa sumber diperoleh dari * Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung. dan www.bogor.indo.net.id )
Mengenal Gamelan Degung
Posted by : allbandung - Rabu, 5 September 2007, 15:58:03
Mengenal Gamelan Degung


Seni Degung adalah suatu seni karawitan Sunda yang menggunakan perangkat gamelan berlaras degung (lebih umum berlaras pelog). Pada umumnya gamelan ini terdiri atas saron, panerus, bonang, jengglong, gong, kendang, goong, serta suling. Pada awal kemunculannya, seni degung ini memiliki lagu-lagu ageing seperti Lambang, Pajajaran Beber Layar, Bima Mobos, Kodehel, Jipang Prawa, Jipang Karaton, Mayaselas, dan lain lain. Dalam perkembangannya lewat sentuhan kreasi para seniman, kerao terjadi kreasi komposisi lagu seperti catrik, sinyur, banjaran, lalayaran, dan sebagainya. Dari komposisi tersebut, maka muncullah lagu-lagu degung wanda anyar seperti lagu Kalangkang (catrik), Nimang (Sinyur), Asa Tos Tepang (Catrik), Anjeun (mandiri). Bahkan, masih atas kreasi seniman pula, gamelan degung sekarang kerap dibubuhi kacapi siter dan bisa mengiring lagu-lagu berlaras sorong seperti Potret Manehna, Dua Saati, Kapaut Imut, Kacipta Kapiati, Bantang Kuring, dan lain-lain


Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul.

Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)


Menurut sejarahnya Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).


Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.


Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian


Ini merupakan atraksi kesenian tradisional sisingaan. Sepasang anak berada diatas tandu singa dikawal empat penari, dengan iringan lengkingan terompet dan gendang. Pertunjukan sisingaan ini atraktif dan menghibur.
Kesenian khas budaya Sunda ini dapat ditemukan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sisingaan merupakan seni pertunjukan rakyat Subang yang masih bertahan. Kesenian rakyat ini dipertunjukan dalam bentuk arak-arakan.
Kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara khusus, seperti menyambut tamu agung, perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, ataupun acara syukuran dan hajatan warga.
Kali ini atraksi sisingaan ditampilkan di Desa Tambakan Kecamatan Jalan Cagak, Subang, dalam acara khitanan massal. Anak-anak yang akan disunat diarak dengan sisingaan, dengan ditonton ratusan warga.
Menurut Dase, tokoh seni Subang, di kawasan Desa Tambakan ini, sisingaan ditampilkan dalam dua bentuk tampilan yang berbeda. Warga Subang menamakannya sebagai singa pergosi dan singa buhun.
Pada atraksi sisingaan abrug atau singa buhun, hiasan singa terbuat dari rangkaian daun pinus dan kertas, bermotif payung dan hiasan. Sementara sisingaan modern atau pergosi memakai boneka singa yang mirip seperti aslinya.
Namun pada saat tampil tak ada perbedaan, yang mencolok. Gerakan dan atraksi para pengusung singa, menampilkan gerakan yang nyaris sama. Pertunjukan sisingaan diiringi lengkingan suara terompet dan gendang.
Sepasang anak kecil dengan memakai baju adat Sunda dinaikkan keatas sepasang tandu singa, yang diusung empat orang pengarak. Atraksipun dilakukan dengan berputar-putar, ataupun maju mundur.
Gerakan-gerakan semacam jurus-jurus silat ditampilkan dipadu dengan gerakan jaipongan, tarian khas Jawa Barat. Atraksi sisingan memadukan tiga unsur seni utama. Yaitu seni gerak tari atau pencak silat dan jaipongan. Seni suara gamelan kendang dan gong, serta seni busana para pemainnya.
Para pemain sisingaan menampilkan gerak akrobat dan tarian yang atraktif. Berbagai gerakan ini membuat warga yang menyaksikan merasa terhibur. Semua atraksi akrobat ini dilakukan para pemanin yang terlatih tanpa unsur magic.
Di tengah arus modernisasi dan masuknya berbagai budaya asing, sisingaan terap bertahan sebagai seni pertunjukan rakyat di Subang, Jawa Barat. Sisingaan tetap diminati karena atraksinya menarik dan menghibur. (Helmi Azahari/Ijs)
1. Provinsi DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD
Tari Tradisional : Tari Seudati, Tari Saman Meuseukat
2. Provinsi Sumatera Utara / Sumut
Tari Tradisional : Tari Serampang Dua Belas, Tari Tor-tor
3. Provinsi Sumatera Barat / Sumbar
Tari Tradisional : Tari Piring, Tari paying
4. Provinsi Riau
Tari Tradisional : Tari Tanduk, Tari Joged Lambak
5. Provinsi Jambi
Tari Tradisional : Tari Sekapur Sirih, Tari Selampit Delapan
6. Provinsi Sumatera Selatan / Sumsel
Tari Tradisional : Tari Tanggai, Tari Putri Bekhusek
7. Provinsi Lampung
Tari Tradisional : Tari Jangget, Tari Melinting
8. Provinsi Bengkulu
Tari Tradisional : Tari Andun, Tari Bidadei Teminang
9. Provinsi DKI Jakarta
Tari Tradisional : Tari Topeng, Tari Yapong
10. Provinsi Jawa Barat / Jabar
Tari Tradisional : Tari Topeng Kuncaran, Tari Merak
11. Provinsi Jawa Tengah / Jateng
Tari Tradisional : Tari Serimpi, Tari bambangan Cakil
12. Provinsi DI Yogyakarta / Jogja / Jogjakarta
Tari Tradisional : Tari Serimpi Sangupati, Tari Bedaya
13. Provinsi Jawa Timur / Jatim
Tari Tradisional : Tari Remong, Tari Reog Ponorogo
14. Provinsi Bali
Tari Tradisional : Tari Legong, Tari Kecak
15. Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB
Tari Tradisional : Tari Mpaa Lenggo, Tari Batunganga
16. Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT
Tari Tradisional : Tari Perang, Tari Gareng Lameng
17. Provinsi Kalimantan Barat / Kalbar
Tari Tradisional : Tari Monong, Tari Zapin Tembung
18. Provinsi Kalimantan Tengah / Kalteng
Tari Tradisional : Tari Balean Dadas, Tari Tambun & Bungai
19. Provinsi Kalimantan Selatan / Kalsel
Tari Tradisional : Tari Baksa Kembang, Tari Radap Rahayu
20. Provinsi Kalimantan Timur / Kaltim
Tari Tradisional : Tari Perang, Tari Gong
21. Provinsi Sulawesi Utara / Sulut
Tari Tradisional : Tari Maengkat, Tari Polo-palo
22. Provinsi Sulawesi Tengah / Sulteng
Tari Tradisional : Tari Lumense, Tari Pule Cinde
23. Provinsi Sulawesi Tenggara / Sultra
Tari Tradisional : Tari Dinggu, Tari Balumpa
24. Provinsi Sulawesi Selatan / Sulsel
Tari Tradisional : Tari Bosara, Tari Kipas
25. Provinsi Maluku
Tari Tradisional : Tari Lenso, Tari Cakalele
26. Provinsi Irian Jaya / Papua
Tari Tradisional : Tari Musyoh, Tari Selamat dating
27. Provinsi Timor-Timur / Timtim
Tari Tradisional : Tari Wira, Tari Suru Boek
Keterangan :
Data ini berdasarkan jaman Indonesia masih 27 propinsi dengan provinsi terakhir masih timor timur. Timor timur kini sudah terpisah dari NKRI menjadi negara baru yang berdaulat dengan nama Timor Leste.

Teriakan dan Siulan Sambut ?Padungdung di Panggung?
Tarian Tradisional Jabar Masih Punya Kekuatan

PENABUH gendang itu berkali-kali memukul gendangnya dengan keras. Namun suara yang keluar, meski sangatnyaring, tidak lantas terdengar memekakkan telinga.Lima penari berpakaian merah menyala dengan kombinasiwarna keemasan, meningkahi kombinasi irama kendang
pencak, jaipongan, bajidoran dan ramuan musik pantaiutara (Pantura) itu dengan gerakan tidak kalah
variatif. Bahkan, dalam beberapa gerakan khasjaipongan dan pencak silat itu, juga terselip gerakan
patah-patah-nya Anisa Bahar dan Nita Thalia.TARI Jaipongan, satu dari tarian dalam rangkaian
pergelaran "Padungdung di Panggung" bertempat diPanggung Tertutup Taman Budaya Jabar (Dago Tea House),Jumat (9/9).*RETNO HY/"PR"Kesan erotisme yang ditawarkan tidak begitu vulgar.
Tapi, mereka yang mengenal gerakan khas ratu goyangdangdut tersebut, langsung menyambutnya dengan siulandan teriakan-teriakan.Belum usai kelima penari menuntaskan penampilannya
muncul pe-bajidor, jawara penggila tarian dari kawasanPantura. Gerak tari yang tidak beraturan yang merekatampilkan, dengan memainkan kain sarung dan kumispalsu, berhasil memunculkan tingkah laku yangmengundang tawa.Tidak hanya itu, gerakan pe-bajidor layaknya pesilat,
cukup atraktif dengan alunan tembang "Daun Pulus".Rangkaian pergelaran itu diakhiri oleh kepiawaian jurimemainkan rampak kendang, diiringi pukulan gendangyang dimainkan dalam posisi berdiri.

Pergelaran bertajuk "Padungdung di Panggung" yangditampilkan di panggung tertutup Taman Budaya JawaBarat (Dago Tea House), Jumat (9/9) itu, memang hendakmenampilkan kesenian yang mampu mewakili keseniankawasan Pantura. Seni yang akrab dengan hentakan suara
gendang pengiring tarian bajidoran maupun banjet itu,kini mulai tergeser oleh alat musik tam-tam yangmengiringi goyang artis dangdut.Menyaksikan rangkaian pergelaran "Padungdung di
Panggung", yang rencananya akan ditampilkan perwakilan
Jawa Barat dalam Temu Taman Budaya se Indonesia diMataram, Nusa Tenggara Barat, 12 hingga 17 Septembermendatang, gerakan kelima penari yang diiringihentakan bunyi gendang itu tidak hanya menawarkangejolak ekspresi. Erotisme juga ditampilkan kelimapenari berparas cantik tersebut lewat gerakan yangsangat memesona layaknya penari dangdut.Alhasil, "Padudungdung di Panggung" pada dasarnyamerupakan sebuah ramuan gerak dari berbagai genre yangpernah berkembang pada tari Jawa Barat. Melaluigarapan tari ini, sang koreografer seakan hendakmenunjukkan bahwa tarian tradisional Jawa Barat masihtetap punya kekuatan. Ia juga memberi peluang bagisetiap penari, untuk sesekali mengeksplorasi kemampuanindividualnya, dan tidak terlalu menekankan kerampakanatau keseragaman.

Pementasan ini memang bukan sebuah rangkaian tarianberbentuk drama tari yang memiliki alur cerita.Sekalipun cukup jelas dalam pementasannya disisipkandialog antara penari dengan bajidor (jawara) yangmeminta untuk diberikan kesempatan menari di ataspanggung.

Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jabar DinasKebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar, Drs.Nunung Sobari, "Padungdung di Panggung" merupakan polagarap baru yang diambil dari unsur kesenianberkarakteristik unik yang tumbuh dan berkembang didaerah Pantura Jawa Barat. Kesenian ini memiliki cirikhas, terutama pada bentuk tarian yang di dalamnyamengandung muatan drama dan karawitan yang dikemassecara utuh.Seorang tokoh jawara atau pe-bajidor mewarnai unsur diatas pangung yang diusung oleh lima orang penariperempuan. Mereka membuat konfigurasi yang dikemasdari tarian banjet dan pencak silat, serta diakhiridengan rampak kendang sebagai penutup sajian. "Itulahsebabnya mengapa garapan karya tari ini diberi judul'Padungdung di Panggung'. Ketika kita melihat danmenyaksikan sajian tersebut, setidaknya kita terbawa
pada suasana dinamis humoris sehingga menjadi tontonanyang menarik dan menyegarkan," ujarnya. (Retno HY/PR)***
Baktos,

Rahman, Wassenaar/NLBerakhir Pekan dengan Indrawati Lukman
Setengah Abad Dalam Dunia Tari

SUATU hari, 50 tahun yang lalu, dua orang anak
perempuan bersepeda menuju Jalan Naripan Bandung untuk
berlatih menari di Badan Kesenian Indonesia (BKI).
Salah seorang di antaranya adalah Indrawati Poerwo,
seorang anak berusia sebelas tahun, putri pasangan
Soesatio Poerwohadikoesoemo dan Emmie Soelaeman. Dua
kali seminggu mereka berlatih di BKI, yang dipimpin
oleh Tubagus Omay Martakusuma dan Tjetje Somantri.

BKI sendiri ketika itu adalah sebuah lembaga yang
berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (P & K), yang ketika itu banyak dipandang
sebagai wadah bagi kaum menak untuk berolah seni.
Meski Indrawati secara rutin datang ke BKI hanya
karena hobi dan senang menari mengikuti
teman-temannya, ternyata semua itulah yang menjadi
permulaan yang kelak menentukan garis pilihan hidupnya
sebagai penari.

Dan semua itu juga tak lepas dari Tubagus Omay
Martakusuma dan Tjetje Somantri, dua orang tokoh
legendaris yang dianggap berperan besar dalam
melakukan pembaharuan tari Sunda. Keduanya melihat
potensi dan bakat Indrawati di balik hanya sekadar
karena senang dan hobi menari itu. Tambahan lagi, anak
perempuan berusia 11 tahun yang elok parasnya itu,
memiliki kesesuaian dengan ragam tarian yang banyak
dikembangkan oleh BKI, yakni tari-tari putri yang
sifatnya halus. Penari-penari BKI memang terkenal
dengan keluwesan dan kehalusan tariannya, juga
kecantikan dan kelincahan mereka. Mereka sering
diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil di
hadapan tamu-tamu negara, dan karena itulah para
penari BKI identik dengan sebutan "penari istana".

Karena bakat dan potensi yang dimilikinya itulah,
setahun kemudian, tahun 1956, Indrawati telah
dipercaya untuk ikut tampil menari dalam rombongan BKI
ke berbagai daerah. Dari mulai keliling Jawa Barat
hingga Bali dan Kalimantan. Dan pada tahun 1957,
Indrawati, yang ketika masih duduk di bangku SMA,
merupakan salah seorang penari dalam rombongan BKI
yang ikut dalam misi kesenian Indonesia selama 3 bulan
ke sejumlah negara Eropa Timur, Rusia, Polandia,
Hongaria, Cekoslowakia, dan Mesir.

"Tarian yang kami bawakan di negara-negara itu umumnya
tari-tari putri karya Tjetje Somantri. Pada waktu itu,
karya-karya Tjetje Somantri memang sedang booming,"
kenangnya.

Perempuan kelahiran Bandung tahun 1944 itu, kini
bernama lengkap Indrawati Lukman. Istri dari Ir.
Winarya Lukman dan ibu dari Novita Andriani (32).
Seperti juga garapan-garapan tariannya, penampilan
Indrawati memang terkesan perfeksionis. Dan ini semua
ditambah dengan jejak-jejak kecantikannya yang masih
tampak dalam sosok perempuan yang kiprahnya dalam
dunia tari membuatnya tak bisa disendirikan dari
perkembangan jagat tradisi tari Sunda. Bukan hanya
melulu karena ia telah begitu setia dan keras kepala
menggeluti dunia tari selama setengah abad yang
membawanya terbang ke berbagai kota negara, melainkan
juga pada bagaimana ia memperlakukan seni tari Sunda
itu sendiri.

Baginya, dunia tari adalah sejenis kekayaan yang
dimilikinya yang harus berguna bagi banyak orang,
terutama bagi generasi-generasi selanjutnya. Dan
karena itulah sejak tahun 1968 sampai sekarang, ia
masih gigih memberikan "kekayaannya" itu di Studio
Tari Indra (STI) pada anak-anak muda.

"Ketika saya ingin berhenti, itu tidak bisa, karena
saya ingin menularkan kebahagiaan saya sebagai penari
kepada anak-anak muda. Kalau saya berhenti dan saya
belum memberikan apa yang saya miliki pada orang lain,
maka semuanya akan terputus. Keindahan itu dari Allah,
tapi persoalannya bagaimana kita bisa merawat dan
melanjutkan keindahan itu sebaik-baiknya," ujarnya.

Berikut petikan percakapan bersama Indrawati Lukman,
ketika penulis, menemuinya di rumahnya yang sejuk di
kawasan Arcamanik-Antapani Bandung (6/10).

Bagaimana awalnya dulu Anda tertarik pada dunia tari?

Ketika itu tahun 1955. Sebenarnya dulu saya hanya
sekadar mengikuti teman-teman untuk menari, sebagai
hobi saja. Pada waktu itu satu-satunya guru tari yang
terkenal adalah Pak Tjetje Somantri (alm.), tempatnya
di Badan Kesenian Indonesia di Jalan Naripan Bandung.
Ya, memang awalnya saya terjun ke dunia tari
betul-betul hanya ikut-ikutan. Tidak tahu bahwa
akhirnya di situlah bakat dan dunia saya. Ketika itu
Pak Tjetjelah yang mungkin melihat bakat dan potensi
saya sebagai penari. Waktu itu umur saya sebelas
tahun.

Jika tahun 1955 disebut sebagai langkah awal
keberangkatan saya menggeluti dunia tari, maka
sekarang sudah 50 tahun saya menggeluti dunia tari.
Dari tahun ke tahun ketika itu saya selalu dibawa
dalam berbagai pertunjukan. Sampai tahun 1957 saya
pertama kali terpilih menjadi anggota misi kesenian ke
luar negeri. Waktu itu ke Rusia, Cekoslowakia,
Polandia, Hongaria dan Mesir. Selama 3 bulan saya
harus meninggalkan sekolah, tapi memang mendapat izin
karena itu merupakan sebuah misi kesenian Indonesia.

Ketika itu tentu saja Anda belum menetapkan untuk
menggeluti dunia tari secara serius,yah?

Belum. Nah, pilihan untuk menggeluti dunia tari itu
berlangsung secara tak sadar. Karena terus-menerus dan
juga karena hobi. Kalau saya ingat lagi ke belakang,
karena hobi itulah saya asal bisa menari saja. Tidak
dibayar saja saya merasa senang, dibayar sedikit juga
tidak masalah dan mendapat kesempatan menari ke
mana-mana. Jadi saya juga, ya, enjoy saja. Pilihan
untuk lebih serius menekuni dunia tari itu berawal
ketika saya mendapat kepercayaan pemerintah yang
frekuensinya hampir tiap tahun saya harus pergi ke
luar negeri, meskipun saya belum meninggalkan bangku
sekolah. Itu sekira tahun 1960 sampai 1964.

Ketika itu, saya juga bergabung dengan grup tari
Viatikara. Di situlah bersama Irawati Yogasurya
(sekarang dikenal dengan nama Irawati Durban---AI),
saya sudah mulai punya keinginan untuk menciptakan
pola-pola gerakan. Kami selalu menari berduet. Pada
rentang tahun 1960-1964 itulah saya ingin menciptakan
pola gerakan, beda dengan sebelumnya yang hanya
sekadar menari saja tanpa ekspresi, kayak robot saja.
Suruh nari, ya, nari. Pada waktu itulah timbul
kesadaran saya pada keindahan gerak dan elemen-elemen
tari lainnya, seperti kostum. Dari proses itulah
muncul kesadaran berikutnya bahwa I am a dancer.
Sampai suatu ketika pada tahun 1964, ada orang
menawarkan saya beasiswa untuk belajar ke Amerika
Serikat.

Saat itu, kebetulan juga saya diminta tampil di New
York World Fair. Saya berangkat ke Amerika dengan
lebih dulu mengikuti program pemerintah di New York
World Fair, lalu saya berangkat ke Stephen's College
atas beasiswa. Tapi beasiswa itu bukan untuk studi
tari, melainkan meneruskan studi seperti yang saya
pelajari semasa semester satu di Unpad, yaitu
psikologi. Tapi ketika itu bahasa Inggris saya
pas-pasan, dan tentu saja mendapat banyak kesulitan.
Akhirnya saya memilih untuk memfokuskan diri pada
studi tari. Di situlah saya merasa apa yang saya
miliki bisa keluar, terutama dalam kelas koreografi.
Di situlah selama dua tahun saya sempat juga
mempelajari berbagai tari etnis, dari mulai tari
India, Spanyol, Hawai hingga teknik modern dance
Martha Graham.

Ketika itu Anda sudah menciptakan tarian?

Belum. Saya baru belajar. Sambil belajar saya pun
mengajarkan tarian-tarian Indonesia. Tapi ketika itu
pun saya belum tahu, saya mau jadi apa, karena
semuanya masih dalam tahap proses.

Lalu sejak kapan Anda mulai menciptakan tarian
sendiri?

Kalau tak salah tahun 1967. Sepulang dari Amerika saya
tidak melanjutkan sekolah, karena lebih senang
meneruskan apa yang sedang saya geluti. Di situ saya
mulai mencoba menciptakan tarian, seingat saya
judulnya "Tari Batik". Dari awal itulah apa yang dulu
saya pelajari, saya coba masukkan ke dalam karakter
tari Sunda. Karena itulah garapan-garapan saya banyak
mengambil gerakan dari daerah lain dengan tetap
mempertahankan roh Parahyangannya. Tapi pola geraknya
saya ambil dari tradisi lain yang mungkin sepintas
tidak akan terasa, tapi jika dilihat secara detail
akan terasa.

Salah satunya, misalnya, idiom gerak yang saya ambil
dari Thailand. Saya belajar di Bangkok dua kali. Atau
juga saya mengambilnya dari idiom tari Jawa dan Bali.
Tapi itu bukan berarti asal mengambil begitu saja,
tapi ada alasan atau ketentuan estetikanya. Jadi bukan
berarti saya harus begitu saja memasukkan unsur-unsur
modern dance. Saya tidak bisa, karena jiwa saya lebih
ke tari-tari tradisional. Sebagai orang yang lebih
dulu mendalami tari-tari tradisional, untuk lepas dari
akar itu sangat sulit.

Apa kendala yang Anda temukan ketika menjadi penari
akhirnya adalah pilihan Anda, apalagi pada masa-masa
itu pilihan untuk menjadi seniman di mata keluarga
bukanlah sesuatu yang gampang bukan?

Sebetulnya, itu bukan pilihan. Semuanya terjadi secara
tak sengaja. Atau ketika itu saya belum memilih untuk
menjadi penari, tapi hanya meneruskan hobi saja. Belum
ada pemikiran saya akan menjadi penari. Pada masa itu
memang belum banyak orang yang membuat tarian baru dan
mengembangkan tarian tradisional. Jadi sebenarnya di
situ saya berusaha mencoba-coba. Ketika sejak tahun
1965 banyak orang menilai dalam karya saya terdapat
sesuatu yang baru, di situ saya tergugah untuk lebih
mengembangkannya. Termasuk mengembangkannya dalam
kelompok yang saya dirikan tahun 1968, yaitu Studio
Tari Indra (STI).

Lalu sejak kapan Anda merasa telah menjadi seorang
penari?

Mulai dari tahun 1968 itu, karena saya merasa STI
banyak sekali diminta untuk tampil di berbagai tempat
terutama pemerintah daerah. Dalam satu bulan kami bisa
empat kali tampil di Gedung Pakuan. Apresiasinya
ketika itu tinggi sekali.

Sebenarnya mengapa Anda merasa harus menjadi seorang
penari?

Ini pertanyaan yang sulit saya jawab. Yang bisa saya
katakan hanyalah bahwa ketika saya sedang menari ada
sesuatu yang ingin diungkapkan, termasuk keindahan dan
anugerah Allah. Ketika saya menari, saya merasa bahwa
saya sedang memberikan sesuatu yang saya miliki.
Ketika saya menari, ada semacam kebahagiaan di
dalamnya; memberikan keindahan, menampilkan apa yang
saya ekspresikan.

Jadi mungkin itu jawaban jika saya bertanya, apa sih
enaknya jadi penari selain sering terbang ke luar
negeri, yah?

Betul. Tapi saya ke luar negeri itu bukan yang menjadi
tujuan, terlebih lagi ketika saya tampil sebagai
penari. Lain lagi kalau saya membawa misi kesenian ke
luar negeri. Betapa bangganya saya ketika saya bisa
menampilkan kesenian Indonesia yang saya wakili. Ada
semacam kebanggaan, bahwa kami bisa membawa nama Jawa
Barat di forum-forum Internasional.

**

BESAR di tengah keluarga yang berpendidikan dan
terbilang berada, juga kedua orang tua yang mendukung
pilihannya untuk menggeluti dunia tari. Dan sebagai
penari, ia tumbuh dari sebuah lembaga yang memberi
keleluasaan untuk menyerap berbagai pengalaman.
Semuanya mengalir mulus tanpa persoalan. Mungkin saja
kesan itu benar. Namun bukan berarti karena itulah
hingga hari ini Indrawati Lukman masih menggeluti
dunia tari. Kesenian dan proses berkreasi memiliki
tantangan dan persoalan serta kegelisahannya sendiri,
yang lebih dari sekadar ada tidaknya kemudahan.
Kesenian dan kesetiaan memerlukan sesuatu yang datang
dari dalam diri si senimannya sendiri.

Ia menuturkan bagaimana dulu setelah menikah suaminya
meminta ia berhenti menari. Selama setahun ia
merasakan sebuah kegelisahan dalam dirinya. Inilah
mungkin tantangan itu. Tantangan bagi seorang
perempuan ketika dunia seni menjadi pilihannya. Dan
Indrawati telah menjawab tantangan itu.

Sudah 50 tahun Anda menggeluti dunia tari. Selama itu
apa yang Anda dapatkan?

Kalau pengalaman sudah jelas. Demikian juga dengan
anak-anak didik dan networking. Tapi ada juga nilai
tersendiri, bahwa dengan menjadi penari saya merasa
kaya. Merasa kaya bukan dalam pengertian materi, tapi
suatu jenis kekayaan yang kelak juga harus bisa
bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Ketika saya
ingin berhenti, itu tidak bisa karena saya ingin
menularkan kebahagiaan saya sebagai penari pada para
generasi muda. Besok lusa saya sudah tidak akan ada.
Kalau saya berhenti dan saya belum memberikan apa yang
saya miliki ini pada orang lain, maka semuanya akan
terputus. Keindahan itu dari Allah, tapi persoalannya
bagaimana kita bisa merawat dan melanjutkan keindahan
itu dengan sebaik-baiknya.

Bisa Anda jelaskan konsep Anda dalam berkarya?

Tetap adalah keindahan. Sewaktu saya membuat tarian
saya tidak mau orang capek melihatnya. Tidak semua
orang yang menonton adalah penari. Jadi, ketika saya
menciptakan tarian saya harus menciptakan sesuatu yang
berakar pada tradisi di Jawa Barat, juga indah
sehingga belum orang mengerti tariannya tapi ia sudah
merasakan keindahan visualnya, juga musiknya. Saya
ingin tari tradisional yang dulu pakaiannya demikian
sederhana bisa ikut dalam kekinian. Kita tidak bisa
menari terus-menerus seperti zaman dulu, tapi kita
juga tidak bisa menghilangkan yang dahulu itu. Yang
dahulu dipelihara tapi selanjutnya kita harus membuat
anak-anak sekarang menyukainya. Ketika anak-anak
sekarang tidak suka, bahkan untuk melirik pun tidak
mau, bagaimana dia mau belajar.

Ok. Tapi apa sebetulnya yang ingin Anda katakan dengan
karya-karya tari Anda itu?

Kalau dengan kata yang singkat, saya ingin mengatakan
agar masyarakat itu mencintai budaya dan tradisi
mereka. Cintailah seni daerah. Dan karena itulah,
punten, saya merasa harus membuat karya-karya yang
tidak jelek. Harus bagus terus. Semua yang saya
tampilkan harus membuat orang mengatakan bahwa mereka
menyukai tari-tari Jawa Barat. Selama 50 tahun
menggeluti dunia tari, siapa yang menurut Anda paling
berjasa dalam karier Anda?

Guru saya, Pak Tjetje Somantri, ibu saya Emmie
Soelaeman dan tentunya suami saya.

Anda tidak mendapat kendala dari keluarga atau suami
ketika memilih dunia kesenian?

Kalau dari orang tua tidak, dari suami ya! Ketika saya
menjatuhkan pilihan untuk bersedia menjadi istrinya,
dia mengatakan bahwa dia bukan artis seperti saya.
Karena itu saya diminta untuk menjaga perasaannya.
Awalnya malah saya tidak boleh menari, setahun. Tetapi
ketika dia melihat saya jadi gelisah dia mengizinkan
saya untuk mengajar dulu. Oleh karena itu saya
mendirikan STI dengan tujuan mengajar saja. Tapi
lama-kelamaan dia melihat bahwa itulah dunia saya
sampai akhirnya dia juga terjun dan terlibat.

Kalau Anda dilahirkan kembali dan boleh memilih, Anda
ingin jadi apa sih?

Guru. Karena waktu saya mendaftar ikut tes di
Psikologi Unpad itu sebetulnya saya ingin jadi guru.
Kenapa? Karena kedua orang tua adalah guru. Ibu saya
guru Bahasa Inggris dan Ayah saya dosen di Institut
Teknologi Bandung. Jadi dalam darah saya memang
mengalir darah pendidik.

Setelah setengah abad bergelut dalam dunia tari,
dengan pengalaman membawa tari Sunda ke berbagai
negara, apalagi sekarang yang Anda inginkan?

Selain tetap ingin menjaga perkembangan tari tradisi
di Jawa Barat, saya ingin memberi peluang untuk para
penari muda berbakat sehingga mereka bisa
mengembangkan potensinya.

Ngomong-ngomong sampai kapan Anda akan terus bergelut
dalam dunia tari?

Insya Allah selama saya masih mampu. (Ahda Imran)***

Baktos,

Rahman, Wassenaar/NL



Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Barat dari daerah Bogor
Di daerah Bogor terdapat beberapa kesenian teater rakyat. Salah satu diantaranya seni Blantek. Seni Blantek yang berada di daerah Bogor ini termasuk rumpun seni tipeuh, oleh karena itu disebut juga topeng Blantek.
Istilah Blantek dalam kesenian ini adalah campur aduk, tidak karuan, tidak semestinya atau masih dalam tahap belajar. Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa Blantek itu akronim dari Blan dan Tek. Blan asal kata dari musik rebanan yang dipergunakan untuk mengiri seni Blantek. Sedangkan tek asal kata dari kotek nama salah satu rebana pada alat musik kesenian tersebut. Blantek dalam arti tidak karuan campur aduk dan tidak semestinya didasari oleh anggapan bahwa kesenian ini dalam penyajiannya memasukkan unsur-unsur kesenian lain seperti rebana, ketuk tilu, dan topeng. Demikian pula bentuk kesenian ini tidak jauh berbeda dengan topeng yang berada di Cisalak.
Kedua pengertian Blantek topeng Blantek meliputi beberapa tahapan. Tahap pertama berupa pembacaan dzikir atau puji-pujian yang diiringi rebana biang yang disajikan pada acara-acara ritual agama Islam di daerah Pondok Rajeg Ciseeng, Bojong Gedeh, Ciganjur, Bintaro, Sawangan dan Parung Bogor. Tahap kedua masuknya tari Blanggo atau Pencak Silat Betawi dan Gisauw (Pencak Cina). Dengan masuknya unsur pencak tersebut membuat kesenian Blantek tidak lagi hanya dipertunjukan pada acara ritual agama islam, tapi dipentaskan juga pada acara-acara hajatan.
Tahap ketiga masuk ronggeng topeng dengan tujuan membuat daya tarik pertunjukan. Topeng yang dimasukkannya kedalam kesenian ini merupakan tiruan dari topeng Cisalak yang hanya diambil ronggeng topengnya saja atau kembang topeng. Dengan masuknya unsure tari dan topeng maka lagu-lagunya semakin bertambah banyak. Tahap keempat masuk unsur bodor yang menampilkan lakon-lakon pendek yang tidak utuh.
Dengan masuknya unsur-unsur kesenian lain seperti tersebut diatas kedalam kesenian ini sehingga membentuk kreasi yang seperti itu. Maka karena hal tersebutlah dinamakan kesenian Blantek atau seperti Topeng Blantek.
Kesenian Blantek dewasa ini telah banyak dipengruhi oleh kesenian POP dan Dangdut. Masuknya musik POP dan Dangdut ini tidak hanya berupa lagu-lagu tapi juga alat musiknya. Demikian pula tari Jaipongan.
Kesenian ini sekarang masih hidup di daerah Parung Bogor, yang dikelola oleh keluarga Bapak Kirpin.
Waktu dan tempat pertunjukan topeng Blantek pada dasarnya sama dengan pertunjukan topeng Cisalak yaitu pada malam hari dipanggung balandongan. Perbedaannya terdapat pada struktur pertunjukan. Struktur pertunjukan topeng Blantek adalah sebagai berikut:
1. Penyajian dzikir dan puji-pujian
2. Musik jiro
3. Penyajian tari Blantek
4. Penyajian cerita komedi
Secara keseluruhan pertunjukan Blantek dengan urutan sebagai berikut:
Penyajian dzikir dan puji-pujian. Lagu-lagu puji-pujian dan dzikir diiringi instrumen musik rebana. Lagu-lagu ini syairnya menggunakan bahasa Arab yang berisi tentang pujian kepada Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya penyajian lagu gending jiro. Lagi ini merupakan lagu-lagu pujian dengan musik iringan tari Blantek. Selesai penyajian lagu jiro dilanjutkan dengan penyajian tari Blantek, jail-jali dan lenggang kangkung. Selain itu ditampilkan juga lagu-lagu ketuk tilu dan kliningan termasuk lagu-lagu kreasi baru. Pada jaman sekarang ditampilkan juga lagu-lagu dangdut.
Berikutnya penyajian tari Blantek dan ronggeng topeng yang gerakannya bersumber dari tari topeng badawa dan ketuk tilu. Sebagai puncak pertunjukan ditampilkan cerita komedi. Cerita-cerita yang sering ditampilkan adalah Prabu Zulkarnaen dan Ngarah Barni.
Alat musik yang dipergunakan dalam pertunjukan Blantek adalah Rebana (Biang, Katek dan Kebuk), Kendang, Jihan/Rebab, Kecrek dan Goong. Pada jaman sekarang ditambah dengan alat musik diantonis seperti Gitar melodi, Bas dan Keyboard.

Seni Tari Jaipongan
Jaipongan adalah sebuah genre kesenian yang lahir dari kreativitas seorang seniman Bandung, yakni Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu membuat seorang Gugum Gumbira mengetahui dan mengenal betul perbendaharaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kiliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, Pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak minced dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Namun sebelum bentuk seni pertunjukkan itu muncul ada pengaruh yang melatar belakangi bentuk dari pergaulan tersebut. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukkan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan Ronggeng dan Pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan Ronggeng dalam seni pertunjukkan memilki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini popular sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukkan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur yang sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk dar goong. Demikian pula dengar gerak-gerak tarinya yang tidaN memiliki pola gerak yang baku kostum penari yang sederhanz sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengar rnemudarnya jenis kesenian d atas, mantan pamogorar (penonton yang berperan akti dalam seni pertunjukkan Ketuk Tilu/Doper/Tayub), beralih perhatiannya pada seni pertunjukkan Kiliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Purwakarta, Bekasi, Indramayu dan Subang) dikenal dengan sebutan Kiliningar, Bajidoran yang pola ibingnya maupun peristiwa pertunjukkannya mempunyai kemiripan dengar kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, dimana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian Topeng Banjet ini. Secara koreografi tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) dimana terdapat gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan_ Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian hasil karya Gugum Gumbira pada awalanya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tiiu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi popular dengan sebutan Jaipongan.
Karya Jaipongan pertama yang dikenal oleh masyarakat adalah tari Daun Pufus Keser Bojong dan tari Rendeng Bojong, yang keduanya merupakan jenis tai putrid dan berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali dan Pepen Dedi Kurnaedi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, dimana isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dart vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah Tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukkan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggarap seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya Tarl Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni taxi unttuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan dan dimanfaatkan pula oleh pengusaha-pengusaha Pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacarn ini dibentuk oleh para penggiat taxi sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tan atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya kaleran.
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan (alami/apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian taxi pada pertunjukkannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Seni jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini sebagai berikut : 1) Tatalu ; 2) Kembang Gadung 3) Buah Kawung Gopar ; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinde Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam temple. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya dari Jaipongan terjadi pada tahun 1980-1990-an, dimana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Man gut, Iring-firing Daun Puring, Rawayan dan Tari Kawung Anten. Dari tari­tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepi, Agah, Aa Suryabrata dan Asep Safaat.

Dewasa ini Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara­acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan Tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan Tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring/terebangan. kacapi jaipong dan hampir semua pertunjukkan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut. (Sumber : www.westjavatourism.com)



Rampak Kendang adalah salah satu kreasi musik tradional yang dimainkan bersama-sama oleh sekitar dua sampai puluhan pemain. Ditabuh secara bersamaan sesuai musik yang dilantunkan. Tabuhannya memiliki efek suara yang keras sehingga menimbulkan perhatian para penonton.
Dalam Rampak Kendang, instrumennya tidak hanya kendang saja, tapi dapat divariasikan dengan alat-alat lainnya, seperti : alat gamelan, Rebab, gitar, dlsb.
Dalam memainkannya, dapat berdiri sendiri, artinya dari rampak kendang itulah membentuk lantunan lagu sendiri, atau sebagai pengiring dari suatu tari Jaipongan.
Dalam seni pertunjukan, Seni Rampak Kendang telah diterima sebagai salah satu seni kreasi dan telah dipertunjukan pada acara-acara resmi, baik dilingkup Pemerintahan, lingkup swasta maupun masyarakat umum.
Tari Topeng Cisalak
Asap pedupaan masih mengepul di antara nayaga saat seorang ronggeng (penari) wanita dengan mengenakan toka-toka, apok, kebaya, sinjang dan ampreng dengan warna cerah kuning, hijau dan merah setengah membungkuk pertanda memberi salam muncul dari balik tirai. Selangkah kemudian mulai melakukan gerakan dengan tangan dikembangkan dan kaki setengah maju mundur.
Beberapa gerakan dasar tarian pembuka semisal rapat nindak, tenggang rapat, pakbang dan blongter dilakukannya dengan sangat baik. Terkadang ayunan badannya yang luwes diiringi senyum simpul godaan para nayaga yang tepat berada di balik tirai. Sejurus kemudian sang penari membalikkan badannya membelakangi penonton dengan tidak henti-hentinya menggoyangkan bagian pinggulnya. Diambilnya topeng berwarna putih sebagai tarian topeng pembuka dari tiga tarian yang akan dimainkannya dalam tarian Topeng Tunggal.
Sepuluh pemusik mengiringi dengan rebab, kecrek, kulanter, ketuk, gendang, goong, bende, berikut seorang sinden dan tiga penari yang menunggu giliran tampil. Mereka tergabung dalam Paguyuban Kesenian Tradisional Topeng Cisalak Grup Kinang Putra pimpinan Dalih Jioen, satu dari sekira delapan paguyuban Topeng Cisalak yang masih bertahan di Depok.
Setelah beberapa saat menimang - nimang dengan tangan kirinya, dikenakannya topeng berwarna putih tersebut. Topeng Panji yang melambangkan kelembutan tersebut dibawakannya lewat tarian yang lemah lembut. Konon, kelembutan tarian topeng itu sekaligus sebagai tarian untuk menyambut penonton setiap pegelaran tari topeng Cisalak maupun Topeng Betawi. Usai mengenakan topeng Panji, sang penari pun kembali berbalik membelakangi penonton. Ditaruhnya topeng tersebut dan dikenakannya topeng berwarna merah muda (topeng Sanggah). Gerakan penari terlihat lebih atraktif dan agresif.
Demikian halnya dengan para nayaga memainkan musik pengiring dengan intonasi yang makin naik dan menanjak. Sikap beringas dan kasar saat topeng yang dikenakan berwarna merah menyala (topeng jingga) bermotif raksasa dengan lagu pengiringnya Gonjing. Gerakan tangan lentik berubah menepal diacungkan ke atas, sementara gerakan kakinya terbuka memasang kuda-kuda hingga musik kembali mengalun dan penari kembali ke balik tirai diganti tiga penari lainnya yang memainkan tarian Ajeng di sambung tarian Lipet Gandes dan ditutup bodoran.
Menyaksikan rangkaian pagelaran Topeng Cisalak tidak ubahnya menyaksikan Topeng Banjer dari Karawang atau Topeng Bekasi yang biasa disebut Topeng Betawi. Pada umumnya mereka mengawali pertunjukan dengan tiga tahapan meliputi tahapan persiapan, pelaksanaan dan penutup.
Dalam pagelaran Topeng Cisalak, tehapan pertama diawali dengan melakukan pemasangan spanduk dan tirai tertanda identitas rombongan yang akan menggelar pertunjukkan. Sementara di atas panggung dilakukan penataan waditra (alat musik) di bawah panggung sejumlah penari dan lakin acara berias diri. Tahapan kedua yaitu tahapan pelaksanaan diawali dengan ngukus dan sesaji yang dilakukan di depan waditra bende seusai azan magrib berkumandang. Sesaji yang disediakan berupa kemenyan dan serutu untuk dibakar, tujuh macam minuman (seperti teh, kopi, air putih), tujuh macam bunga, rujakan, beras, perawanten, nasi dan bakakak ayam.
Dalam prosesi tersebut waditra rebab, kendang dan goong dikukusi dengan harapan pertunjukan berjalan lancar. Sementara waditra bende di perlakukan secara khusus dengan di beri air kembang tujuh macam.
Biasanya pada acara ini banyak pedagang maupun warga yang memberikan air untuk mendapat berkah disertai memberikan sejumlah uang ala kadarnya. Pedagang pada umumnya mengharapkan keuntungan yang berlimpah pada saat berdagang malam itu. Sementara sejumlah warga umumnya menggunakan air dengan maksud untuk diminumkan kepada anak-anaknya dengan maksud agas cepat jalan, bicara atau pintar.
Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan yang diawali dengan memukul goong sesuai hari pementasan. Untuk hari Sabtu goong dipukul 9 kali, Jumat 6 kali, Kamis 8 kali, Rabu 7 kali, Selasa 3 kali, Senin 4 kali dan Minggu 5 kali diikuti tatalu berupa permainan semua waditra tanpa irama.
Kemudian disambung tembang/kawih bubuka yang biasanya berupa arang-arang yang disambung dengan Tari Topeng tunggal yang dimainkan ronggeng topeng. Disambung tari Lipet Gades, tarian pasangan antara ronggeng topeng dengan penari bodor dilanjutkan dengan acara bodoran sebagai bagian penutup.
Dikatakan Dalih Jioen salah seorang tokoh Topeng Cisalak yang masih hidup, dulunya masih banyak yang nanggap, Topeng Cisalak pimpinan orang tuanya Jioen bin Dorak sering berkeliling di kawasan Jakarta, Bekasi, Bogor dan Tanggerang, bahkan terkadang sampai Karawang.
"Biasanya di masa paceklik mau tidak mau kita keliling perkampungan untuk sekedar nyari uang." Dalih sisela-sela pegelaranTopeng Cisalak, Sabtu pekan lalu di Cimanggis Depok.
Nama Topeng Cisalak sendiri diberi orang tuanya berdasarkan tempat menetap dan kesenian topeng berkembang saat itu di Kampung Cisalak, Cimanggis Depok Jawa Barat.
Padahal pertama kali muncul tahun 1918 Topeng Cisalak bernama topeng Kinang oleh dua pelopornya Djioen dan Mak Kinang.
Karena latar belakang pelopornya merupakan pemain Topeng Ubrug, maka Topeng Cisalak banyak dipengaruhi Topeng Ubrug. Topeng Ubrug sendiri merupakan pemisahan dengan Topeng Blantek yang artinya topeng yang tidak beraturan atau tidak sama persis dengan topeng aslinya.
Secara administratif Kecamatan Cimanggis berada di wilayah Depok sebelah timur. Luas wilayah sebesar 12.111.596 Ha, Kec. Cimanggis terbagi dalam 13 kelurahan yaitu Kelurahan Cilangkap, Tugu, Cisalak Pasar, Sukatani, Cimpaeun, Leuwinanggung, Pasir Gunung Selatan, Jati Jajar, Tapos, Sukamaju Baru, Mekar Sari, Harja Mukti dan Curug.
Namun pada kenyataannya Topeng Cisalak seringkali disebut sebagai Topeng Betawi sebagaimana dikatakan Mandra, Ibeng, Mastur dan sejumlah putra Bokir dan Dalih yang merupakan generasi ketiga Topeng Cisalak. Hal ini tidak dapat dibantah kalau topeng Cisalak masuk dalam lingkup Budaya Betawi.
"Meskipun nyanyian dan waditra yang dipergunakan asli Sunda tapi dialek yang dimainkan lebih banyak Betawinya dan juga Tionghoa atau Betawi Ora (Betawi Pinggiran) di mana seni topeng berkembang," ujar Dalih. Di Betawi sendiri pada waktu itu terdapat tiga jenis seni topeng, yaitu Topeng Ubrug, Topeng dan Topeng Blantek.
Topeng Ubrug merupakan seni topeng yang menampilkan teater tradisional Betawi dengan diiringi waditra terompet, kendang, biang (rebana besar) dan kempul. Seluruh pemainannya adalah pria yang menyajikan tarian, nyanyian, lawakan, akrobatik dan sulap. Sementara kesenian Topeng merupakan kesenian tradisional Betawi pinggiran yang mengandung unsur tari, musik dan seni rupa. Kesenian ini berkembang di kawasan Gandaria, yang menampilkan topeng putih, kuning dan jingga.
Sedangkan Topeng Blantek merupakan pengembangan dari Topeng yang didirikan oleh Naim putra pertama Djioen. Topeng Blantek mempunyai arti tidak beraturan, tidak kesampaian menirukan topeng aslinya.
Kini kondisi para seniman Topeng semakin mengkhawatirkan. Selain kurang minatnya generasi penerus akan seni tradisi leluhur mereka juga tidak mendapat dukungan dari pihak pemerintah. " Anehnya kalau di luar negeri kita benar-benar disanjung, kok di negeri sendiri sampai hanya dilihat sebelah mata bahkan mungkin tidak sama sekali," ujar Dalih. Suatu kondisi yang benar-benar memprihatinkan.
Sumber: www. sundanet.com

Ketuk Tilu
Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.
Istilah ketuk tilu adalah berasal dari salah satu alat pengiringnya yaitu boning yang dipukul tigakali sebagai isyarat bagi alat instrument lainnya seperti rebab, kendang besar dan kecil, goong untuk memulai memainkan sebuah lagu atau hanya sekedar instrumentalia saja. Dilihat dari aspek pertunjukannya tari ketuk tilu terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, sepengiring melantunkan irama gamelan, rebab dan kendang untuk menarik perhatian masyarakat. Pada bagian kedua yaitu takala orang-orang telah berkumpul memadati tanah lapang barulah muncul para penari memperkenalkan diri kepada para penonton sambil berlenggak-lenggok mencuri perhatian penonton. Pada bagian ketiga adalah pertunjukannya itu sendiri yang dipandu oleh seseorang semacam moderator dalam rapat atau juru penerang. Pada bagian pertunjukan ini penari mengajak penonton untuk menari bersama dan menari secara khusus berpasangan dengan penari. Adakalanya apabila ingin menari secara khusus dengan sipenari ia harus membayar sejumlah uang. Di desa-desa tertentu di Jawa Barat, pertunjukan seni tari ketuk tilu ini sering kali dilakukan hingga semalam suntuk.
Konon kabarnya, ketuk tilu memiliki gaya tarian tersendiri dengan nama-nama seperti, depok, sorongan, ban karet, lengkah opat, oray-orayan (ular-ularan), balik bandung, torondol, angin-angin, bajing luncat, lengkah tilu dan cantel. Gaya-gaya ini sesuai dengan cirri khas daerahnya. Saat ini daerah-daerah yang masih memiliki kesenian tari ketuk tilu adalah di Kabupaten Bandung, Karawang, Kuningan dan Garut namun jumlahnya sangat sedikit, itupun hanya diminati generasi tertentu (kaum yang fanatik terhadap seni ketuk tilu). Sedangkan generasi mudanya lebih menyukai seni tari Jaipongan (pengembangan kreasi dari ketuk tilu) karena tarian dan iramanya lebih dinamis dan dapat dikombinasikan dengan tari-tarian modern.
Ditinjau dari perangkat tabuhan, Ketuk Tilu adalah nama perangkat tabuhan yang tersebar hampir di seluruh tatar Sunda. Nama perangkat tersebut dipinjam dari salah satu waditra yaitu ketuk yang terdiri dari tiga buah (tiga buah penclon/koromong). Waditra lainnya yang merupakan kelengkapan tabuhan Ketuk Tilu. satu unit Rebab, satu buah Gong, satu buah Kempul, satu buah Kendang besar, dua buah Kulanter (Kendang kecil), serta satu unit kecrek.

Perangkat Ketuk Tilu pada awalnya merupakan gending iringan rumpun tarian (ibing Ketuk Tilu). Yoyo Yohana seorang tokoh Ketuk Tilu dari Ujungberung mengungkapkan bahwa: "Ketuk Tilu, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang mandiri" Artinya, tidak terikat atau bukan merupakan bagian dari cabang seni lain. Pada perkembangan selanjutnya, perangkat Ketuk Tilu di beberapa daerah di tatar Sunda, menjadi bagian dari suatu pertunjukan teater. Misalnya: Ronggeng Gunung di daerah Ciamis, Banjet di daerah Karawang clan Subang, Topeng Betawi di beberapa daerah di kawasan JABOTABEK, begitu juga Ubrug di Banten.

Di masa lampau Ketuk Tilu memiliki struktur sajian tersendiri yaitu diawali dengan Tatalu (sajian gending pembukaan), kemudian Ronggeng masuk arena. Pada bagian ini Ronggeng masuk beriringan sambil menari bersama. Dilanjutkan dengan taxi Jajangkungan yang diirngi dengan Gamelan (instrumentalia). Bagian berikutnya adalah Wawayangan yang dilakukan oleh Ronggeng dengan posisi setengah lingkaran atau tapal kuda. Mereka menari sambil menyanyikan Kidung. Selesai WawayIngan, para Ronggeng berbanjar ke samping menghadap Panjak (para penabuh atau Nayaga). Jika bermain di atas panggung, maka posisi banjarnya membelakangi penonton. Selanjutnya, Lurah kongsi (pimpinan rombongan) membakar kemenyan dalam Parupuyan yang disimpanberdekatan dengan " Pangradinan (sesajen), kemudian membacakan matera­mantera, memohon keselamatan selama pagelaran serta minta rizki yang banyak. Selain itu dibacakan pula (secara perlahan) Asihan agar para Ronggengnya disukai oleh para penonton. Dengan Asihan diharapkan para penonton bermurah hati untuk memberikan uang, sehingga otomatis menambah inkam bagi rombongan.

Selama babak tersebut, Gamelan mengalun dalam lagu Kidung. Habis lagu Kidung Ronggeng membuat posisi berbentuk bulan sabit, menghadap ke arah penonton, dilanjutkan pada Babak Erang. Pada babak ini Ronggeng menari bersama secara bebas diiringi lagu Erang. Para penari pria dari penonton, bebas menari tanpa harus membayar uang Pasakan (uang bokingan). Babak ini disajikan khusus untuk penonton yang suka menari, sebagai pemanasan sekaligus sebagai bonus, karena tidak harus membayar. Selesai Babak Erang, baru kemudian dilanjutkan pada Babak Pasakan, dimana para penari pria dari penonton yang menari dengan Ronggeng, harus memberikan uang Pasak kepada ronggeng atau Panjak.

Lagu-lagu yang disajikan terdiri dad: Kidung (lagu wajib pada pagelaran Ketuk Tilu, Erang (juga lagu wajib), Emprak atau Emprak kagok, Polos yang berkembang menjadi Polos Tomo dan kadang-kadang disambung dengan naek Geboy, Berenuk Mundur, Kaji-kaji, Gorong, Tunggul Kawung, Gondang, Sorong Dayung, Cikeruhan, Prangprangtarik, Renggong Buyut, Awi Ngarambat, Bangket Solontongan, Paleredan, Geseh, Kembang Beureum, Sonteng, Ombak Banyu, Gaya Engko, Mainang, Karawangan Barlen, Soloyong dan sebagainya. Liriknya berbentuk pantun, yaitu dua kalimat pertama merupakan cangkang (sampiran/kulit) dan dua kalimat terakhir merupakan eusi (isi). Pantun tersebut bersifat kebirahian dan asmara dengan wama cerah, gembira, humoritis. Selain lirik-lirik yang sudah dipersiapkan sebelum main, juga kadang-kadang Ronggeng melantunkan lagu yang liriknya dibuat seketika (waktu main).

Ketuk Tilu merupakan taxi Pertunjukan yang gerakan­gerakannya dilakukan oleh Ronggeng atau Doger sebagai primadona atau oleh Panjak tertentu yang memiliki kepandaian dalam menari. Gerakan-gerakan tersebut menyerupai Silat Kembang pada Pencak Silat. Selain merupakan taxi Pertunjukan, Ketuk Tilu juga sebagai tari Pergaulan, karena Ronggeng menari bersama penari pria dari penonton dengan gerak-gerak improvisatoris yang bebas, tidak terikat oleh idiom­idiom gerak tari ataupun silat.

Dari tari Pergaulan ini sering muncul tarian-tarian yang tidak kalah mutunya dengan tari­tari Pergaulan yang telah ada. Hal ini kemungkinan besar bahwa di antara para penari pria dari penonton, terdapat penari yang berasal dari kalangan menak serta pandai menari Wayang atau Tayub menarai bersama Ronggeng. Sehingga terjadilah perpaduan gerak yang lebih bersifat tari dari pada silat.

Dalam memilih Ronggeng sebagai pasangan menari, sering terjadi kericuhan, sehingga babak ini dinamai Parebut Ronggeng. Oleh karena itu, Ketuk -Tilu pernah dilarang oleh Pemerintah dengan alasan demi ketertiban umum dan keamanan. Akan tetapi pada kenyataanya Ketuk Tilu belum lenyap sama sekali bahkan ada usaha-usaha untuk melestarikannya.

Tari Ketuk Tilu dan tari-tari lainnya memiliki perbedaan, baik dilihat dari gerak-gerak tarinya yang khas, Karawitannya, serta memiliki ketentuan-ketentuan yang khas dalam penyajiannya. Dalam Tari ketuk Tilu terdapat gerakan-gerakan yang berpola Kendang, gerakan-gerakan yang merupakan gambaran keseharian, serta ada pula gerakan-gerakan yang berupa improvisasi yang disesuaikan dengan irama lagu pengiringnya. Di samping itu, Tari Ketuk Tilu juga memiliki warna tertentu yaitu: gembira, romantis, merangsang, horitis, cerah, Iincah, akrab, dan penuh penjiwaan.
(Sumber : www.westjavatourism.com)
Upacara Adat Sunda
Upacara adat perkawinan Sunda merupakan tambahan dari acara pokoknya, yaitu ijab dan qobul sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Agama Islam. Tambahan acara ini seringkali menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh yang hadir karena mengandung hal-hal yang bersifat humoris dan ada sesuatu yang dibagikan kepada hadirin. Namun demikian, acara adat tersebut tidaklah ada kaitannya dengan acara pokok akad nikah. Hal demikian itu, hanya sekedar hiburan sebagaimana halnya penyajian lagu-lagu, kasidahan atau orkes dangdut.
Bagian-bagian acara adat yang biasa dilaksanakan meliputi; nincak endog (menginjak telur) yang maksudnya adalah bahwa si mempelai penganten itu akan memulai malam pertamanya dengan indah. Ketika melaksanakan malam pertama itu, si penganten harus benar-benar hati-hati dan tidak “grasa-grusu”, sehingga nantinya menghasilkan yang baik.  Nincak elekan (menginjak semacam bamboo yang biasa dibuat suling) maksudnya hamper sama. Hanya saja ini disimbolkan kepada “wanita”, sedangkan telor, lebih disimbolkan kepada laki-laki.
Selanjutnya, Meuleum Harupat (membakar segenggam yang berisi tujuh buah potongan lidi), maksudnya adalah membuang atau membakar sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia, seperti : iri, dengki, mudah tersinggung, pemarah, kikir, tamak dan sombong. Kemudian, Meupeuskeun kendi (memecahkan kendi), yang maknanya sama dengan akan melepasnya masa bujang dan gadis pada malam pertama.
Sedangkan, Ngaleupaskeun Japati (melepaskan burung dara) dan Melempar kanjutkunang (melempar tas kecil terbuat dari kain) kepada yang hadir, adapt ini melambangkan/symbol, bahwa kedua orang tua melepas penganten yang terakhir di keluarganya. Jadi yang terdapat dikeluarhganya dihabiskan atau dibagikan sebagai ungkapan rasa kebahagiaan atau pula sebagai tanda bahwa orang tua tersebut mengawinkan anaknya yang terakhir. 
Setelah itu acara sawer, yaitu melemparkan barang-barang seperti, beras kuning, permen, dan uang recehan seraya dibarengi lagu-lagu yang berisi pepatah bagi pengantin. Beras kuning, permen dan uang recehan adalah symbol keduniaan yang harus dicari oleh khususnya pihak laki-laki dan dipelihara oleh pihak wanita (isteri).
Setelah sawer kemudian dilakukan acara buka panto (buka pintu) yang dimaksudkan pembelajaran kepada pengantin dalam hal tata krama di rumah antara suami dan isteri.
Akhir dari acara adat pengantin sunda adalah acara “huap lingkung” yang berisi saling menyuapi dengan air minum, nasi kuning dan pabetot-betot bakakak (saling menarik ayam panggang) bagi yang dapat bagian terbesar dari ayam tersebut adalah pertanda akan mendapat rezeki yang banyak (jikalau diusahakan dengan baik). Pada acara huap lingkung inipun, dilakukan huap deudeuh dan huap geugeut yang artinya saling memberi sebagai tanda kasih sayang.

Sehari sebelum acara perkawinan dimulai,  dilakukan terlebih dahulu acara siraman terhadap kedua calon mempelai (secara terpisah) oleh kedua orang tua calon mempelai. Acara ini meliputi kegiatan; mandi kembang, berjalan diatas tujuh helai kain samping dan pengajian sebagai ugkapan permohonan keselamatan. Acara siraman ini dimaksudkan sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir khususnya dalam memandikannya karena setelah berkeluarga diserahkan kepada masing-masing. Acara sebelum hari pokok ini hampir sama untuk setiap daerahnya, baik acara Penganten jawa atau bahkan Sumatera.
Mengenai Lamanya acara adat ini, biasanya  sekitar dua jam dan dipandu oleh juru rias serta MC yang mengambil tempat biasanya di depan rumah (halaman depan) atau diselenggarakan secara khusus di gedung tempat resepsi dengan harapan dapat disaksikan oleh para tamu undangan.
Tidak semua acara perkawinan diikuti acara adat. Mungkin bagi mereka yang ingin simple-simpel saja pasti tidak dilakukan, tapi bagi mereka keluarga yang masih memegang kuat adapt walaupun anak-anaknya tidak saja, apa boleh buat harus diikuti. Sekali lagi diingatkan, bahwa acara adat itu sekedar tambahan yang bersifat hiburan dan tidak mengandung makna ibadah langsung. Sekedar meramaikan. Dikerjakan boleh, tidakpun tidak apa-apa.

Tidak ada komentar: