Munculnya komik (pelecehan) Nabi Muhammad pada salahsatu blog di WordPress menambah panjang daftar kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Komik tersebut berkisah tentang pernikahan Muhammad dengan Zainab, mantan istri anak angkatnya, kisah Muhammad dengan Aisyah dan kisah Muhammad dengan budaknya, Mariah. Gambar-gambar Zainab dan Mariah ditampilkan dengan pakaian yang menggoda, bahkan ada yang telanjang. Parahnya, ada pengutipan ayat Alquran dan hadis dengan penafsiran versi si komikus yang pasti sangat menyesatkan
Meskipun pihak WordPress.com telah menutup blog tersebut (Republika, 21/11), namun fenomena komik Nabi Muhammad tersebut menunjukkan bahwa: Pertama, masih eksisnya islamophobia. Nabi Muhammad adalah figur sentral, representasi Islam. Logikanya, menyerang Nabi Muhammad sama dengan menyerang Islam. Karenanya, bentuk-bentuk pelecehan terhadap Nabi Muhammad dijadikan sebagai wahana menyerang Islam. Kedua, kurangnya penghargaan terhadap kepercayaan orang lain. Artinya, masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai, yakni bagaimana mempraktekkan toleransi secara tulus. Ketiga, kurang dimengertinya posisi Nabi Muhammad dalam Islam. Melecehkan Nabi Muhammad dianggap sebagai pelecehan biasa, padahal dalam Islam Nabi Muhammad adalah figur suci. Melihat hal ini, dibutuhkan pemahaman yang utuh, genuine, tentang: Bagaimana memahami posisi Nabi Muhammad dalam religiusitas Muslim dan bagaimana kaum Muslim memandang Nabi Muhammad? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diharapkan dapat memunculkan sikap penghargaan terhadap keyakinan kaum Muslim, khususnya terhadap paham kenabiannya.
Memahami Muhammad
Bagaimana memahami Nabi Muhammad? Sayed Hosein Nasr, dalam Ideals and Realities of Islam, menulis bahwa, untuk memahami Nabi Muhammad tidak cukup mempelajari biografinya dari ”luar”. Namun, wajib pula meneropongnya dari perspektif khas Islam sekaligus menemukan posisi istimewanya dalam kesadaran religius Muslim.
Nasr mengakui, peran Nabi Muhammad sulit dimengerti oleh non-Muslim sebagai prototype kehidupan religius dan spiritual, khususnya yang berlatar Kristen. Nasr melihat, kesulitan tersebut disebabkan peranan spiritual Nabi tersembunyi di balik peranan manusiawi dan tugas sosial-politiknya sebagai pembimbing manusia dan pemimpin masyarakat. Nabi Muhammad adalah pembimbing spiritual sekaligus organisator sebuah tatanan masyarakat baru. Karena itu, tidak aneh jika orang-orang non-Muslim kerap hanya mampu melihat Nabi sebagai politikus, orator, atau negarawan daripada pembimbing spiritual.
Bagi Nasr, Nabi Muhammad memiliki peran ganda, yakni nabi dan “raja”. Karena itu, Nabi Muhammad tidak bisa dibandingkan dengan Kristus atau Budha, tetapi lebih tepat dibandingkan dengan ”raja-nabi” dalam Perjanjian Lama, seperti Daud dan Sulaiman, terutama Ibrahim. Di luar tradisi abrahamic religions (Yahudi, Kristen, dan Islam), Nabi Muhammad harus dibandingkan dengan Rama dan Krishna (Hinduisme) sebagaimana dikisahkan dalam Ramayana dan Mahabharata.
Umat Islam dan Nabinya
Bagaimana kaum Muslim memandang Nabi Muhammad? Nurcholish Madjid berpendapat, umat Islam adalah penganut agama yang tidak memandang pemimpinnya dengan pandangan mitologis (Qs. Al-Nisa: 144) Hal ini sesuai dengan misi tauhid Nabi. Tauhid membebaskan manusia dari mitologi, takhayul, dan berbagai kepercayaan palsu lainnya. Nabi Muhammad adalah manusia seperti kita, hanya beliau menerima wahyu dari Allah (QS. al-Kahf:110)
Disamping itu, dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad dipandang sebagai figur meta-historis. Minimal ada tiga metode pengukuhan kemeta-historisannya: Pertama, seseorang baru berlabel Muslim bila ia—bukan hanya mengakui Allah sebagai tuhan—namun juga Muhammad sebagai Rasulullah (utusan Allah). Artinya, kesadaran ke-muhammad-an merupakan kesadaran Islam itu sendiri. Hingga, tidak aneh bila oknum-oknum yang mencoba menistakan Islam berupaya meluluh-lantakkan, meruntuhkan citra luhur Nabi Muhammad. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad adalah penghinaan terhadap Islam karena menyangkut kesadaran diri (self consciousness) kaum Muslim.
Kedua, Nabi Muhammad adalah model ideal hamba Allah, manusia paripurna, manusia-teomorfis, teladan (uswah) dimana tiap muslim mengkiblatkan keteladanan moral (akhlak) padanya.
Ketiga, kesadaran ke-muhammad-an dipertajam dengan konsep shalawat. Tiap nama Muhammad disebut, maka dianjurkan membaca shalawat, ”Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘alli muhammad”. Bahkan, Imam Syafi’i berkata,”tidak sempurna shalat tanpa shalawat bagimu.” Nama “Muhammad” pun adalah bagian integral dari shalat: mulai dari adzan, iqamat, dan bacaan wajib shalat.
Nabi di Mata Barat
Lalu, bagaimana Barat memandang Nabi Muhammad? Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa, sejumlah intelektual Barat yang, mengutip Maxim Rodinson, sekalipun mungkin tidak suka kepada Nabi Muhamad, namun tidak jarang masih menunjukkan kekaguman kepada Nabi kaum Muslim ini. Comte de Boulainvilliers, menyanjung Nabi sebagai pemikir bebas (freethinker, vrijdender), pencipta agama rasional. Voltaire menggunakan nama Nabi Muhammad sebagai senjata melawan agama Kristen dengan mengatakan, kalaupun Nabi itu adalah pendusta, ia toh berhasil memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung dengan bantuan cerita-cerita khayalan. Radinson, abad ke-18 memandang Nabi Muhammad sebagai pengajar agama alami, wajar, dan masuk akal (rasional), yang jauh terbebaskan dari “kegilaan salib”. Thomas Carlyle menempatkan pribadi Nabi Muhammad dalam deretan pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Ilahi. Hubert Grimme, akhir abad ke-19, memandang Nabi Muhammad sebagai sosialis yang sukses melakukan reformasi fiskal dan sosial dengan “mitologi” yang sangat minim. Goethe, sastrawan besar Jerman, mempersembahkan syair yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang genius yang bagaikan sungai besar. Sungai itu dan cabang-cabangnya meminta bimbingannya untuk mencapai lautan yang sedang menunggu. Agung, penuh kemenangan, dan tak terkalahkan, Nabi memimpin mereka maju terus.
Wa Allahu a’lam bi al-shawabi
Ditulis dalam KEISLAMAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar